BERBAGAI inovasi dan prestasi dibidang ekonomi, nyatanya tidak menjadikan Provinsi Jawa barat terbebas dari ketimpangan ekonomi.
Begitupun dengan kemiskinan, masih menjadi PR besar bagi pemprov untuk mengatasinya.
Disisi lain, keinginan Pemprov untuk mewujudkan masyarakat Jawa barat yang bahagia lahir dan batin nampaknya perlu perjuangan yang lebih keras lagi.
Terutama selama Pandemi melanda, Jawa Barat menjadi provinsi dengan kenaikan ketimpangan yang paling tinggi. Di provinsi ini, gini ratio naik sebesar 0,014 poin.
Jumlah penduduk miskin di Jawa Barat (Jabar) teerus bertambah, imbas pandemi COVID-19 . Per Maret 2021, jumlah penduduk miskin Jabar tercatat tembus 4,2 juta jiwa.
Pandemi memang berdampak pada semua bidang kehidupan masyarakat, terutama ekonomi.
Adanya berbagai kebijakan penyekatan, PHK, serta banyak pengusaha yang gulung tikar turut andil memperparah perekonomian masyarakat.
Hal ini mengakibatkan masyarakat yang tadinya ada diatas garis kemiskinan, berubah posisi menjadi ada dibawah garis kemiskinan. Sehingga tidak mengherankan jika jumlah angka kemiskinan terus meningkat.
Ironisnya, ketika sebagian besar masyarakat mengalami kelesuan dibidang ekonomi.
Ada segelintir pihak yang justru mengalami peningkatan kekayaan meskipun Pandemi tengah melanda.
Di tingkat nasional misalnya, dapat terlihat dari laporan Credit Suisse “Global Wealth Report 2021” yang dirilis akhir Juni 2021.
Laporan tersebut menyebutkan, terdapat 171,7 ribu orang Indonesia yang memiliki kekayaan bersih di atas US$ 1 juta (Rp14,5 miliar) pada 2020. Jumlah tersebut meningkat 61,7% dibandingkan tahun sebelumnya sebanyak 106,2 ribu orang. Dibandingkan total 270 juta penduduk, jumlah orang kaya itu setara dengan 0,1% populasi.
Hal ini membuktikan, jurang pemisah antara orang-orang miskin dan segelintir orang kaya semakin menganga. Ada ungkapan yang kaya makin kaya dan yang miskin semakin miskin.
Ketimpangan ekonomi pun tidak terelakan, dan tentu saja akan juga berdampak pada ketimpangan sosial.
Kebijakan pemerintah pun selama ini ditenggarai lebih memihak kepada para pengusaha besar.
Misalnya ketika pemerintah memberikan berbagai tax amnesti, tax holiday dan sejenisnya.
Namun sebaliknya dirasakan sebagian masyarakat kecil, ketika pemerintah menerapkan berbagai kebijakan penyekatan yang berdampak pada perekonomian masyarakat. Tanpa disertai jaminan pemenuhan kebutuhan.
Bantuan sosial yang digelontorkan pun nyatanya tidak banyak mempengaruhi ekonomi masyarakat. Karena jumlahnya yang kurang signifikan. Distribusinya pun tidak merata, bahkan banyak yang salah sasaran.
Hal ini membuktikan kapada kita, penanggulangan Pandemi selama ini belumlah efektif. Bahkan kebocoran masih terjadi di sana-sini.
Imbasnya, masyarakat lah yang merasakan berbagi kesulitan. Belum lagi banyaknya nyawa yang harus melayang akibat Pandemi yang berkepanjangan.
Urgensi solusi yang efektif dalam menuntaskan pandemi menjadi sebuah keharusan, agar masyarakat tidak lagi menjadi korban.
Maka, berkaitan dengan penuntasan Pandemi atau wabah. Sudah sejak lama Islam mempunyai konsep yang khas dan telah terbukti keefektifannya. Berdasar pada sabda Rasulullah Saw :
“Apabila kalian mendengarkan wabah di suatu tempat, maka janganlah memasukinya, dan apabila terjadi wabah sedangkan kamu ada di tempat itu, maka janganlah keluar darinya.” (HR Imam Muslim).
Berdasarkan hadits ini jelas bahwa di dalam pandangan Islam, penguncian atau karantina wilayah adalah sesuatu yang Syar’i. Dan memang harus dilakukan agar wabah tidak menyebar luas.
Disamping itu, dibutuhkan juga kecakapan dari pemimpin agar dapat memutuskan kebijakan yang tepat bagi masyarakat.
Negara pun senantiasa ada dan terdepan dalam setiap keadaan. Negara tidak menyerahkan urusan rakyatnya pada pihak lain.
Pada masa kepemimpinan khalifah Umar ra misalnya, beliau mengangkat Amr Bin Ash sebagai gubernur untuk menuntaskan masalah wabah tha’un. Kala itu, Amr menyerukan kepada seluruh penduduk untuk mengisolasi dirinya masing-masing.
Amr berkhotbah di depan rakyatnya dan memerintahkan agar pergi jauh hingga rakyatnya memencar ke berbagai penjuru. Di antara mereka ada yang pergi ke gunung, bukit, dan ke daerah-daerah terpencil.
Amr bertanggung jawab penuh atas konsekuensi dari kebijakan yang diberlakukannya.
Ketakwaan dan keimanan pemimpin berpengaruh pada cepat atau lambatnya pertolongan Allah Swt.. Rakyat mudah memahami tujuan kebijakan yang diputuskan Amr, hingga wabah berakhir tanpa membutuhkan waktu yang lama.
Dalam hal ini, kebijakan yang diambil khalifah Umar bin Khattab bukan semata mengandalkan kecerdasan dan kemampuan manusiawinya, tetapi disandarkan pada apa yang sudah diperintahkan oleh Nabi saw.
Dari sini nampak sekali bahwa, pilar utamanya adalah negara yang siap sebagai institusi pelaksana syariah secara kaffah dalam setiap aspek kehidupan, termasuk penetapan kebijakan penanggulangan wabah.
Negara hadir sebagai penanggung jawab urusan umat.
Imam Bukhari meriwayatkan dari Ibn Umar RA, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Seorang imam yang berkuasa atas masyarakat bagaikan penggembala dan dia bertanggung jawab atas gembalaannya (rakyatnya).”
Sejatinya memang negara mesti memprioritaskan urusan pengayoman terhadap kehidupan rakyat. Sebab itulah cerminan dari posisinya sebagai pengurus dan pelindung.
Tidak boleh negara mengambil kebijakan yang mengabaikan nasib mereka.
Dengan demikian, wabah akan cepat teratasi. Begitulah paparan singkat mengenai mekanisme Islam dalam menuntaskan wabah atau Pandemi.
Wallahu’ alam