BERDASARAKAN data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah pengangguran di Indonesia mencapai hampir 7,2 juta orang pada Februari 2024. Data ini mencakup empat kelompok penduduk, yaitu:
- Angkatan kerja yang tidak memiliki pekerjaan dan sedang mencari pekerjaan.
- Orang yang tidak memiliki pekerjaan dan sedang mempersiapkan usaha.
- Mereka yang tidak memiliki pekerjaan dan tidak mencari pekerjaan karena merasa tidak mungkin mendapatkan pekerjaan.
- Individu yang sudah memiliki pekerjaan namun belum mulai bekerja.
Menurut laporan World Economic Outlook yang dirilis oleh Dana Moneter Internasional (IMF) pada April 2024, tingkat pengangguran di Indonesia tercatat sebesar 5,2 persen, yang merupakan angka tertinggi di antara enam negara lain di Asia Tenggara.
Posisi ini tidak berubah dari tahun sebelumnya, meskipun angkanya sedikit lebih rendah yakni 5,3 persen.
Indonesia diikuti oleh Filipina dengan tingkat pengangguran sebesar 5,1 persen, kemudian Brunei Darussalam sebesar 4,9 persen, Malaysia 3,52 persen, Vietnam 2,1 persen, Singapura 1,9 persen, dan Thailand 1,1 persen. Thailand bahkan menjadi negara dengan tingkat pengangguran terendah di dunia, mengalahkan Singapura, Jepang, dan Amerika Serikat (AS).
Tingginya angka pengangguran di Indonesia menunjukkan tantangan yang signifikan dalam menciptakan lapangan kerja yang memadai bagi rakyatnya.
Hal ini menunjukkan kegagalan pemerintah merealisasikan janji-janji dalam visi dan misinya untuk meningkatkan kemaslahatanan rakyat melalui penyediaan lapangan kerja.
Hal ini menunjukkan adanya masalah mendasar dalam perencanaan dan pelaksanaan kebijakan ketenagakerjaan. Pasalnya, dengan membludaknya pengangguran ini merupakan standar yang dasar untuk mengukur kesejaheraan suatu negara.
Bagaimana tidak? Pemerintah dengan kebijakan yang salah strategi terus menerapkan langkah-langkah yang menyebabkan deindustrialisasi.
Lulusan SMK/PT tidak terserap dalam dunia kerja, sementara tenaga kerja asing justru membludak masuk ke Indonesia.
Fakta hari ini, tenaga asing sebagai pemangku jabatan penting tetapi warga lokal hanya ter-stuck menjadi tenaga buruh.
Karena itu, peran warga lokal ini hanya terbatas sebagai konsumen atau ‘penonton’ saja sehingga orang-orang yang memiliki profit kuat sajalah yang bisa bertahan hingga menjadi produsen.
Salah satu kebijakan ‘salah kaprah’ adalah impor yang tidak memihak pada produk dalam negeri, pajak yang membebani semua golongan, dan juga undang-undang yang condong pada korporasi multinasional seperti UU Cipta Kerja.
Pengelolaan sumber daya alam dengan pendekatan kapitalisme, mengakibatkan tenaga ahli bahkan buruh kaar sekalipun didatangkan dari asing. Sementara rakyat sendiri kehilangan kesempatan kerja hingga harus menjadi TKI.
Ini semua tentu berimplikasi langsung pada kekemaslahatanan rakyat. Seharusnya kebijakan yang diberlakukan ini pro-rakyat dan bukan sebaliknya.
Rakyat hari ini terseok-seok untuk bertahan hidup namun pemerintah malah bermanja ria dengan kesepakatan-kesepakatan luar negerinya.
Solusi yang tidak pragmatis untuk masalah ini adalah mengganti sistem yang ada saat ini dengan Islam. Karena hanya dengan Islam-lah negara diwajibkan mengurus rakyat termasuk menyediakan lapangan pekerjaan melalui berbagai kebijakan.
Seperti pengelolaan sumber daya alam, diolah secara mandiri tanpa campur tangan asing yang berujung kerugian dan tidak terasa hasilnya seperti hari ini.
Keterampilan sumber daya manusia pun dikelola oleh pendidikan yang baik dengan bertumpu pada kekemaslahatanan umat, penyediaan pelatihan dan perguruan tinggi yang terjangkau.
Dan juga diterapkannya pendidikan yang berasaskan akidah islam yang bertumpu pada kemaslahatan ummat.
Dengan demikian, rakyat dapat menikmati potensi dan kesempatan yang berlimpah sehingga kekayaan alam nusantara yang 1dikelola negara, dikembalikan demi kemakmuran rakyat.
Wallahu a’lam bishawab