”Sesungguhnya orang-orang yang beriman, yang berhijrah dan yang berjihad pada jalan Allah, mereka selalu mengharapkan rahmat Allah. Dan Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang”.
TANPA terasa kita memasuki tahun 1445 H yang tepat 19 Juli 2023 M dengan penuh tasyakur dalam kesederhaan, yang sangat berbeda dengan penyambutan pergantian tahun Masehi yang serba hingar bingar.
Memang, ajaran agama Islam tidak mengajarkan untuk itu. Selain sekedar mengisinya untuk bermuhasabah atau bermudzaharah disertai do’a, semoga kualitas derajat kehidupan menjadi lebih maju, semakin berarti dan bermakna baik secara habluminallah dan habluminannas.
Selaku Muslim, tentunya kita maklum dan memahami maksud ungkapan ”Hijrah” termasuk bagaimana seyogyanya kita merealisasi dalam kehidupan sehari-hari. Karena cukup banyak + ungkapan ”Hijrah” diabadikan dalam Al Qur’an, yang terkait dengan motivasi iman, jihad dan amal shaleh.
Yang jelas, untuk menjaga eksistensi kita, ”Hijrah” merupakan suatu taktik dan atau strategi yang perlu dilaksanakan guna pengamanan stabilitas perjuangan dan cita-cita kehidupan sebagaimana yang diamanahkan oleh Nabi Muhammad SAW bersama para sahabat.
Oleh karena eksistensi dari ”Hijrah” adalah untuk perubahan pada kemajuan peradaban umat manusia yang mencakup ”Hijrah Fisik” dan hijrah ”Mental”.
Guna menggapai ridho Allah SWT dapat diuraikan berikut ini :
Pertama, Hijrah Fisik
Hijrah fisik adalah kepindahan seseorang atau golongan dari suatu tempat domisilinya ke tempat lain atau bertransmigrasi dengan maksud agar ditempat baru nanti kehidupannya dalam situasi yang lebih baik dan aman serta lebih menjanjikan.
Akan tetapi mungkin pula kepindahannya itu dilakukan karena ingin meninggalkan atau menyingkirkan kemaksiatan dan kemunafikan yang sedang melanda sebagian besar masyarakat setempat.
Hal ini sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW beserta para pengikut-pengikut beliau melaksanakan hijrah dari Mekah Al-Mukarramah menuju Madinah.
Al-Munawwarah. Namun, Rasulullah SAW berhijrah fisik saat itu bukan berarti takut menghadapi kafir Quraisy yang kejam dan bukan pula karena beliau tidak sanggup menghadapi musuh-musuh Islam waktu itu.
Hal ini disebabkan hijrah Rasulullah adalah demi menyelamatkan aqidah Islamiyah yang sebelumnya terancam oleh kaum animisme yang jauh dari tauhidullah.
Dengan kata lain bahwa hijrah Rasulullah adalah suatu taktik perjuangan agar keberadaan kita dapat terjaga dengan tidak membawa korban; juga sebagai strategi untuk lebih menjamin kesucian ajaran Islam pada masa-masa mendatang.
Sebab Madinah sebagai tumpuan harapan baru untuk menyusun, membina dan mengatur kembali basis-basis perjuangan keluhuran Islam Bersama para sahabat yang patuh dan disiplin.
Berkat kepemimpinan Rasulullah Saw maka kaum Muhajirin dan Anshor terikat dalam soliditas yang tidak diragukan sehingga mampu menepis musuh-musuh Islam dengan harmonis dalam keberkahan Allah SWT.
Kedua, Hijrah Mental
Pada hakekatnya hijrah mental adalah manifestasi dari hijrah qalbiah atau hati nurani berupa cetusan batin dari sifat atau sikap keutamaan, dengan motivasi untuk meninggalkan segala kebiasaan tidak wajar sebelumnya yang dilarang Allah SWT menuju kepada kebenaran yang hakiki, bukan kebenaran spekulatif.
Maka, apabila seseorang telah menyadari, apa yang telah dilakukannya selama ini merupakan suatu pelanggaran dan kenistaan terhadap ajaran Allah dan Rasul-Nya ;
Kemudian ia insyaf dan ingin tidak mengulangi tindakan serupa dimasa-masa mendatang (taubat nasuha, menyesali diri); sikap demikian termasuk dalam kategori ”hijrah mental spritual”.
Demikian pula halnya dengan kesalahan-kesalahan lainnya yang pernah dialaminya pada masa lampau.
Dengan demikian Hijrah itu bermakna bukan sekedar mengasingkan diri dari arena perjuangan situasi kehidupan yang sering bergolak, dan bukan pula seperti perpindahan (imigrasi) dari suatu negara ke negara lainnya belaka.
Akan tetapi urgensinya adalah menjauhkan diri dari suatu iklim yang penuh dengan kemusyrikan dan kemunafikan ; untuk menuju ”Nurul Haq” (Cahaya kebenaran) dan ”Tauhidullah” guna meniti kehidupan sepanjang masa dalam petunjuk dan jalanNya untuk mendapat perkenan dan ridhaNya.
Hal ini disebabkan hanya orang yang selalu ingat kepada Allah Swt itulah yang sanggup melaksanakan ”Hijrah Mental Spiritual”, sehingga jiwanya senantiasa ”Muthmainnah” sebagaimana firman Allah Swt Q.S. Al Hasyr : 18,
”Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kamu kepada Allah dan hendaklah setiap pribadi memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk menghadapi hari esok (hari kemudian) bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apapun yang kamu kerjakan”
Bagi bangsa Indonesia, kata hijrah sebenarnya sangatlah akrab. Karena pada saat Perang kemerdekaan sebagai konsekwensi dari perjanjian Renville 18 Januari 1948, pasukan TNI harus berhijrah ke wilayah RI di Yogyakarta dan sekitarnya, kemudian ada pembatas yang disebut garis Statusquo Van Mook.
Kemudian pemberian nama Muhajir ; Hijrah ; dsb. Hal ini menunjukkan bahwa semangat untuk ”Hijrah” menuju kearah kebaikan dan kemajuan senantiasa sudah merasuk ke tulang sumsumnya bangsa Indonesia ; namun secara konkrit hasilnya kurang optimal dan maksimal.
Oleh karena itu renungan peristiwa Hijrah 15 abad yang lalu kiranya dapat sebagi pemantik, pemicu agar semangat hijrah betul-betul dapat menjiwai, mendorong dan memotivasi untuk kembali kepada ajaran Illahiyah dalam terangnya Nurul Haq dan Tauhidullah. Sehingga mampu menopang tetap tegak dan kokohnya NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 sebagai negarayang Baldatun Thayyibatun Wa Rabbun Ghapur dalam Rahmatan Lil Alaamin.
Enam bulan lagi tepat 14 Pebruari 2024 akan dilaksanakan pilpres, sebuah pesta demokrasi bagi bangsa Indonesia. Kiranya dapat digunakan sebagai momentum untuk mengaplikasikan semangat hijrah dengan dapat memilih pemimpin tepat yang berpihak pada perubahan akan kemajuan bagi bangsa, negara dan rakyat Indonesia.
Seyogyanya dapat menghindari pada pilihan calpres yang tidak kuat iman dan taqwanya, bodoh, buruk akal budinya, tidak siddiq, amanan, fatonah, dan tabhligh, serta tidak memikirkan rakyatnya dan masa depan bangsa dan negara.
Pilihlah pemimpin yang mempunyai kriteria sebagaimana harapan kita semua. Rasanya begitu capek, lelah dan sengsara selama kita dipimpin oleh pemimpin yang oportunis dan ahistoris.
Mari kita gunakan modal dasar kita berupa qalbun dan akal dengan komprehensif integral dari berbagai dimensi pendekatan untuk kemajuan masa depan bagi bangsa dan negara, NKRI harga mati.
Selamat tahun baru 1445 H
(Penulis purnawirawan AD, Pembina IPIM, Ketua RW 08 Dukuh Geneng, Desa Palar, Trucuk, Klaten -57467-)
foto hidayatullah.com