Oleh Dadan Supardan
Aktivitas budidaya ikan keramba jaring apung (KJA) di Waduk Cirata tengah ditata. Penataan atau penertiban dilakukan dengan pembongkaran KJA secara bertahap. Agar lebih efektif, penertiban juga melibatkan tentara.
Bongkar-bongkar KJA dilatari oleh populasinya yang sudah menggila. Kondisi demikian sangat mencemari lingkungan waduk seluas 6.200 ha tersebut. Sisa pakan yang tak termakan ikan menjadi salah satu biangkerok pencemaran. Penumpukan sisa pakan di dasar waduk menyebabkan sedimentasi dan mencemari air waduk. Kualitas, debit, serta volume air pun menjadi makin rendah. Begitu besar andil KJA dalam pencemaran Waduk Cirata. Bahkan dampaknya juga menggerogoti usia PLTA. Apalagi dengan pertumbuhan KJA yang jorjoran, sudah dapat dibayangkan tingginya tingkat pencemaran.
Ibarat gula, selalu dirubung semut di manapun berada. Begitupun dengan Waduk Cirata. Terkait dengan KJA, para pemodal besar tak mau melepas peluang usaha. Mereka seolah berlomba. Satu orang pengusaha bisa memiliki hingga ratusan petak KJA.
Alhasil, aktivitas usaha budidaya ikan KJA melampaui daya dukung dan daya tampung lingkungan perairan Waduk Cirata. Peningkatan dua tahun terakhir saja sampai 800 petak keramba per bulan.
Menurut Dansektor 12, yang menaungi wilayah Waduk Cirata dalam program Citarun Harum, Kolonel Czi Satriyo Medi Sampurno beberapa waktu lalu (jabar.tribunnews.com), dari jumlah keramba 77.195 petak pada 2016 menjadi 98.387 petak pada Juni 2018. Demikian halnya dengan jumlah petani keramba, dari 3.553 orang pada Desember 2016 menjadi 5.139 orang pada Juni 2018.
Mafhum saja, sebab usaha budidaya ikan KJA memang cukup menggairahkan. Oleh karena itu, jangan heran jika sekarang menghitung KJA di Cirata. Jumlahnya menembus 98.387 petak. Angka yang pantastis karena memiliki kelebihan sekitar 800 persen dari kuota. Sesuai dengan Keputusan Gubernur Jawa Barat No 41 Tahun 2002, toleransi jumlah keramba di Cirata di angka 12.000 petak. Artinya harus ada 86.387 petak keramba yang harus dibongkar (ditertibkan).
Selain kegiatan usaha budidaya ikan KJA yang menguntungkan, kelalaian pemerintah dalam menegakkan aturan sangat memberi ruang terhadap tidak terkendalinya penambahan KJA. Sebab, kalaulah Keputusan Gubernur Jawa Barat No 41 Tahun 2002 dikawal dengan ketat, tentunya tak akan terjadi kondisi yang menyeramkan seperti sekarang. Tidak mudah memang untuk mengaplikasikan regulasi. Akan tetapi lebih sulit lagi melakukan pembongkaran 80 ribuan petak KJA.
Siapapun akan menyadari. Pembongkaran bukan perkara gampang. Karena bukan sekadar soal jumlah, tapi menentukan yang mana dan milik siapa yang harus dibongkar. Dengan target KJA mencapai jumlah ideal.
Belum lagi dilihat dari aspek ekonomi dan sosial. Aktivitas budidaya ikan KJA dan turunannya di Waduk Cirata melibatkan banyak pihak berkepentingan. Sebut saja, pedagang keliling bersampan, pengelola perahu, penampung hasil panen, pedagang bibit dan pakan ikan, serta warung terapung.
Kesempatan kerja pun terbuka di sana. Pegawai KJA dan buruh pembantu panen tak sedikit jumlahnya. Belum lagi petugas pemungut retribusi dan petugas keamanan. Mereka membentuk rantai perdagangan barang dan jasa yang saling membutuhkan.
Melihat kondisi di atas, penertiban tentunya mesti mengedepankan aspek keadilan. Tidak boleh petugas membongkar secara serampangan. Penertiban juga jangan sampai mengarah pada pemiskinan masyarakat. Pemberdayaan masyarakat lokal harus menjadi ruh penertiban KJA Cirata.
Salah satu pertimbangan yang paling mendasar adalah manarik sejarah ke belakang. Model penertiban harus berorientasi pada semangat semula. KJA diperuntukkan bagi masyarakat sekitar yang terdampak pembangunan Waduk Cirata pada 1984 silam.
Setidaknya ada 6.335 kepala keluarga (KK) yang lahannya dibebaskan sebagai dampak pembangunan Waduk Cirata saat itu. Mereka tersebar di tiga kabupaten, yaitu Kabupaten Bandung (kini Kabupaten Bandung Barat), Kabupaten Cianjur, dan Kabupaten Purwakarta.
Beberapa opsi diberikan pemerintah kepada mereka yang mayoritas mata pencahariannya sebagai petani dan buruh. Di antaranya, bertransmigrasi dan menjalankan usaha budidaya ikan KJA di waduk yang mulai digenangi pada 1 September 1987 itu. Bagi yang condong menjalankan usaha budidaya ikan KJA harus beradaptasi dengan kegiatan usaha anyar. Perubahan dari kultur pertanian-darat (agri-culture) menjadi kultur pertanian-air (aqua-culture).
Bersyukur ada yang berhasil mengembangkan usaha budidaya ikan KJA. Walaupun kebanyakan tidak berkembang akibat kekurangan modal dan minimnya pengetahuan terkait tatakelola usaha budidaya ikan KJA. Malahan kini, usaha budidaya ikan KJA lebih didominasi para pendatang bermodal besar.
Kembali pada masalah penertiban keramba, tidak bisa dilepaskan dari konsep menumbuhkembangkan ekonomi kerakyatan. Masyarakat setempat benar-benar harus diperhatikan, diprioritaskan, dan diberdayakan.
Untuk itu, jangan sampai petani lokal atau keturunan dari masyarakat yang terkena dampak pembangunan Waduk Cirata malah menjadi buruh pada aktivitas budidaya ikan KJA. Sementara kekuatan budidaya ikan KJA dicengkram pemodal besar yang notabene para pendatang.
Lebih jauh lagi, seandainya KJA akan benar-benar dinolkan perlu disiapkan matapencaharian baru yang sesuai dengan potensi dan daya dukung lingkungan untuk masyarakat setempat. Ya setidaknya diarahkan. Kalau dulu dari kultur pertanian darat diarahkan ke kultur pertanian air, kini dari kultur pertanian air mau dikemanakan?
Ibarat memindahkan seluruh air Waduk Cirata ke dalam tempayan, memberikan perlakuan yang ideal kepada masyarakat setempat adalah hal yang tidak mungkin. Akan tetapi perlu diupayakan langkah yang seadil-adilnya. ***
(Penulis Lepas)