MENTERI Perdagangan, Muhammad Lutfi mengeluarkan kebijakan rencana impor beras sebesar 1 juta ton.
Wacana tersebut memunculkan pro kontra diantara pejabat baik pusat maupun daerah. Seperti penolakan yang dilakukan oleh Tiga Gubernur Jawa yakni Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil, Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa dan Gubernur Jawa tengah Ganjar Pranowo, kompak menolak. (www.tasikmalaya.pikiran-rakyat.com, 18/03/2021)
Di sisi lain, jeritan petani akan kebijakan konyol itu terus bergema.
Seorang petani di Desa Panyingkiran, Kecamatan Jatitujuh, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat, mengaku rela mengobral gabahnya. Ia menjual Rp300.000 per kuintal untuk Gabah Kering Giling, asalkan ada yang bersedia membeli. (www.pikiran-rakyat.com, 22/03/2021)
Menanggapi pro kontra kebijakan tersebut, Presiden Jokowi akhirnya membatalkan rencana kebijakan impor beras hingga Juni mendatang dan tidak akan impor selama panen raya.
Kebijakan impor pangan termasuk di dalamnya beras memang bukan hal baru, dan memang diatur dalam UU. Namun impor sebagai suatu kebijakan jangka pendek memiliki dampak terhadap bangsa Indonesia khususnya petani lokal secara ekonomi maupun sosial.
Dampak yang diterima bangsa Indonesia adalah pengeluaran devisa negara yang cukup besar untuk melaksanakan impor. Ini sama saja dengan pemerintah Indonesia memberikan keuntungan bagi petani negara lain, sedangkan bagi petani dalam negeri tidak.
Tsunami impor telah menyapu petani lokal. Padahal hasil panen mengalami surplus. Maraknya impor mengakibatkan dampak negatif bagi petani. Akibatnya, harga gabah maupun beras mangkrak dan anjlok. Dengan dalih ketahanan pangan, banjir impor menjadi kebijakan yang tak berpihak kepada petani. Lalu, sebenarnya ketahanan ekonomi siapa yang sedang diperjuangkan?
Jika ketahanan pangan diartikan sebagai kemampuan suatu bangsa untuk menjamin seluruh penduduknya memperoleh pangan yang cukup, mutu yang layak, aman, disarankan optimalisasi pemanfaatan dan berbasis pada keragaman sumberdaya lokal, maka kebijakan impor justru mengkhianati tujuan murni ini.
Swasembada pangan yang mewujudkan kedaulatan pangan bangsa hanya omong kosong. Aksesibilitas antara pangan dan rakyat semakin terhalang tembok besar impor, karena kemampuan memenuhi kebutuhan bukan hanya tentang ketersediaan komoditas namun juga kondisi ekonomi rakyat termasuk para petani.
Keberhasilan pembangunan di sektor pertanian di suatu negara tercermin dari kemampuan negara tersebut dalam swasembada pangan, atau paling tidak ketahanan pangan. Topik kedaulatan pangan ini mengandung konsekuensi politik yang sangat besar.
Tugas pemerintah adalah menyelenggarakan hajat hidup masyarakat, termasuk petani. Sehingga kebijakan yang dikeluarkan wajib menyejahterakan petani lokal, bukan petani luar negeri. Selain mencukupi masyarakat agar dapat mengakses pangan dengan harga terjangkau, di sisi lain pemerintah wajib menyejahterakan petani lokal. Bahkan jika negara memiliki visi dan bargaining power yang kuat, ia akan mampu melakukan ekspansi komoditas lokal untuk menembus pasar global. Tentu setelah aksesibilitas pangan rakyat terpenuhi sempurna.
Dengan melaksanakan kebijakan impor, produk dalam negeri tidak mampu bersaing dengan produk pertanian luar negeri. Apalagi jika tak ada dukungan kebijakan yang berpihak pada petani dalam negeri. Meski orientasinya tentu bukan berfokus pada kompetisi produk di tataran global.
Masifnya impor pangan, makin menunjukkan rezim ini bukanlah rezim yang berpihak dan serius mengurusi rakyat. Rezim neoliberal ini memang tidak punya visi kedaulatan pangan karena masih terus menggantungkan pangan pada impor. Padahal faktanya kondisi pemenuhan pangan rakyat tak beranjak menjadi lebih baik. Begitu pula nasib para petani lokal selalu termarginalisasi oleh kebijakan yang neoliberal.
Untuk menghentikan ketergantungan pada pangan impor, dibutuhkan negara yang punya visi dan misi yang jelas, pemerintah yang berperan sebagai pelayan umat bukan pebisnis yang memiliki orientasi untung rugi.
Selain itu, penerapan sistem ekonomi yang adil, adalah bagian penting yang turut mendukung hal tersebut bukan ekonomi yang pro kapitalis. Sehingga untuk mewujudkannya dibutuhkan sistem yang mendukung agar tercapai tiga hal tersebut. Dialah sistem Islam yang telah terbukti mengutamakan rakyat dan menjadikan pemimpin sebagai pelayan umat. Visi dan misi yang jelas itu hanya adalah dalam sistem islam di bawah naungan kekhilafahan Islam.
Wallahualam
foto Antara/Hendra Nurdiyansyah