BANDUNG, PelitaJabar – Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2024, kasus perceraian di Jawa Barat mencapai 88.837 kasus. Angka ini tertinggi secara nasional. Faktor utama meliputi perselisihan dan pertengkaran terus menerus (51.122 kasus), masalah ekonomi (33.264 kasus), dan meninggalkan salah satu pihak (2.781 kasus).
“Pinjol dan judol ini memicu keretakan rumah tangga dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Jabar menempati peringkat kedua nasional untuk kasus perceraian akibat KDRT dengan 653 kasus dari 7.243 kasus nasional,” beber Kepala DP3AKB Jawa Barat Siska Gerfianti usai membuka training of trainer (ToT) bagi petugas lini lapangan dan fasilitator pembinaan perkawinan (Binwin) Kementerian Agama (Kemenag) RI selama dua hari, 10-11 Juli 2025.
Dari situ, muncul kasus pinjol dan judol. Data Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan, penggunaan pinjol dan judol di Jabar tertinggi di Indonesia.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Karena itu, Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (DP3AKB) Jawa Barat melaksanakan ToT.
“Jawa Barat merupakan wilayah dengan populasi penduduk terbesar di Indonesia, yaitu sebanyak 50,3 juta jiwa atau 17,82 persen dari total populasi Indonesia. Tingginya jumlah penduduk turut menyumbang pada berbagai permasalahan keluarga, termasuk tingginya angka perceraian,” tambahnya.
Sementara pasangan usia subur (PUS) menghadapi berbagai tantangan, seperti rendahnya pengetahuan kesehatan reproduksi, risiko pernikahan usia dini, minimnya kesadaran kesehatan mental, dan kurangnya pemahaman keluarga berencana.
“Hal-hal tersebut berkontribusi pada tingginya angka perceraian, stunting, hingga kematian ibu dan bayi,” pungkasnya.
Melalui ToT Sekolah Pranikah yang diikuti 1500 peserta, diharapkan mampu memberikan pemahaman tentang ketahanan keluarga. ***