PRESIDEN Joko Widodo (Jokowi) mengajak masyarakat Indonesia membenci produk-produk asing. Jokowi bahkan meminta produk asing ditaruh di tempat yang sepi pembeli.
“Produk dalam negeri gaungkan, gaungkan juga benci produk-produk luar negeri, bukan hanya cinta tapi benci. Cinta barang kita, benci produk luar negeri. Sehingga betul-betul masyarakat kita menjadi konsumen yang loyal untuk produk-produk Indonesia,” ujar Jokowi dalam Pembukaan Rapat Kerja Nasional Kemendag secara virtual, Kamis (4/03/2021).
Sementara itu, ekonom Universitas Indonesia yang juga Direktur Eksekutif Next Policy, Fithra Faisal, menganggap pernyataan benci produk asing bisa menimbulkan retaliasi ke produk Indonesia di luar negeri. Selain itu, menurutnya Indonesia belum bisa sepenuhnya lepas dari produk asing.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
“Bisa saja kita substitusi impor, tapi itu kan butuh waktu,” kata Fithra saat dihubungi, Jumat (5/03/2021).

Adanya seruan membenci produk luar negeri dari pemerintah nampaknya hanyalah sebuah retorika politik untuk memikat hati rakyat semata. Karena faktanya, selama ini impor terus berlangsung dalam jumlah besar dan di sektor vital strategis.
Di antaranya seperti di sektor industri dan komoditas pangan. Meski Indonesia selama ini dikenal sebagai negara agraris dengan lahannya yang subur, namun nyatanya Indonesia masih belum sanggup memenuhi kebutuhan pangannya sendiri.
Seperti pasokan pangan masyarakat di tanah air misalnya masih dipenuhi dengan mengimpor dari negara lain seperti Thailand, Vietnam bahkan Madagaskar. Dan lebih parahnya lagi kini produk impor sudah meraksasa di marketplace.
Data Bank Indonesia menyebutkan transaksi e-commerce sepanjang 2020 mencapai Rp253 triliun. Bahkan diperkirakan mencapai Rp337 triliun pada 2021 (bisnis.com, 24/2/2021). Padahal, jika pasar e-commerce Indonesia digarap oleh produk lokal, nilai ekonominya sangat besar dan hasilnya bisa dipetik rakyat negeri sendiri.
Demikianlah ketika seorang penguasa tidak mengurusi perdagangan dengan hukum Islam, hasilnya adalah dominasi pedagang asing terhadap pedagang lokal di dalam negeri.
Rakyat tak ikut menikmati keuntungan dari perniagaan di negeri sendiri. Inilah akibat dari diterapkannya sistem kapitalisme sekuler di negeri ini. Dimana akan senantiasa menjadikan negeri ini bergantung pada negara lain termasuk dalam hal memenuhi kebutuhan masyarakat dengan cara impor dan sungguh negeri ini tidak akan pernah memiliki kedaulatan.
Kondisi tersebut tidak akan terjadi dalam sistem Islam. Karena sistem Islam menjalankan perdagangan berasaskan pelaku perdagangan (pedagangnya).
Pedagang yang merupakan warga negara Islam boleh melakukan perdagangan di dalam negeri. Mereka harus terikat syariat Islam dalam berdagang. Misalnya tidak boleh melakukan penipuan, penimbunan, menjual barang haram, dan hal-hal terlarang lainnya.
Apabila terdapat negara yang sedang terjadi perang dengan Khilafah, maka warga negara Islam tidak boleh melakukan kontak bisnis dengan mereka. Misalnya dengan Israel, karena ekspor dan impor yang dilakukan akan memperkuat mereka.
Pedagang dari negeri kafir yang terikat perjanjian dengan Khilafah (kafir muahid) diperlakukan dalam hubungan perdagangan luar negeri sesuai dengan isi perjanjian yang diadakan dengan mereka.
Isi perjanjian tersebut dirancang agar tidak merugikan Khilafah. Sedangkan pedagang dari negeri kafir harbi hukman yang tidak ada perjanjian dengan Khilafah maka mereka tidak dizinkan masuk wilayah Khilafah, kecuali dengan izin khusus (visa). Ini berarti, mereka juga tidak boleh memasukkan komoditi ke wilayah Khilafah, tanpa izin khusus.
Izin ini tidak akan diberikan jika membawa dharar (bahaya) bagi Khilafah. Khilafah juga akan menolak tekanan global dalam perdagangan bebas dan menetapkan regulasi impor agar tidak menjadi jalan bagi negara barat untuk menguasai kaum muslim.
Karena Khilafah adalah negara yang kuat, mandiri dan memiliki kedaulatan. Maka satu-satunya cara agar negeri ini terbebas dari impor dan menjadi negara mandiri adalah ketika kembali pada sistem hakiki yakni sistem Islam yang diterapkan secara kaffah dalam naungan Khilafah.
Wallahu’alam bishawab
Nita Nur Elipah, Mahasiswi di salah satu Perguuan Tinggi, Tinggal Di Cilacap