PENANGANAN pandemi covid-19 yang tidak sistemik, menyeluruh dan terukur dari awal, menyebabkan ledakan kasus ini seperti puncak gunung es.
Covid menyapu semua lapisan usia tanpa kecuali. Rumah sakit penuh. Pasien sekalipun sudah gawat mesti antri untuk ditangani, karena ruangan yang tak cukup lagi. Bukan saja yang masih hidup, yang sudah meninggal pun mesti antri untuk dimakamkan.
Pandemi telah memunculkan persoalan lain yang tak kalah serius. Dunia ekonomi, ketenagakerjaan, pariwisata, pendidikan, keagamaan dibatasi. Ini tentu saja melumpuhkan ekonomi, serta berpengaruh pada pemasukan anggaran pendapatan negara maupun daerah. Hutang pun semakin membengkak.
Dikutip dari AYOBANDUNG.COM, pemerintah Kabupaten Bandung meminjam uang sebesar Rp80 miliar untuk penanganan covid-19.
Bupati Kabupaten bandung Dadang Supriatna mengatakan, untuk memaksimalkan penanganan covid-19 dibutuhkan anggaran yang tidak sedikit.
“Kami sudah menggeser anggaran. Terpaksa menarik dulu anggaran belanja pegawai bulan November dan Desember, karena kondisinya semakin mendesak,”
Secara nasional Menteri Keuangan Sri Mulyani menganggarkan penanganan covid-19 tahun ini sekitar Rp 170 triliun. Anggaran berasal dari penerimaan pajak, bea cukai, penerimaan negara bukan pajak dan pinjaman.
Pinjaman masih menjadi solusi untuk mengatasi minimnya anggaran. Akibatnya posisi utang negara sudah sampai pada titik mengkhawatirkan.
Dikutip dari laman APBN KiTa Juni 2021 yang dirilis Kementerian Keuangan, posisi utang pemerintah per akhir mei 2021 mencapai Rp 6.418,15 triliun.
Sebagai orang yang beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa, pandemi covid-19 semestinya menyadarkan akan kelemahan kita dihadapan keperkasaan dan kemahakuasaan Pencipta alam semesta ini. Maka sudah seharusnya membuat kita semakin tunduk dan patuh pada titah-Nya, agar segera mendapatkan solusi tuntas dalam mengakhiri pandemi, dan keuangan negara tetap aman dan sehat.
Salah satu ketundukan yang perlu dibenahi adalah dalam pengelolaan anggaran negara.
Sebagaimana kita ketahui, profil APBN Indonesia, dari sisi penerimaan selalu lebih kecil dibanding dengan pengeluaran, dalam setiap periode anggaran.
Dilihat dari penentuan kebijakan anggaran, penerimaan terbesar dari APBN justru berasal dari pajak. Ini tentu memberatkan rakyat. Terlebih diwacanakan akan ada pajak pendidikan dan sembako yang jelas akan semakin menambah penderitaan rakyat.
Kebijakan ini ironi, karena Indonesia adalah negara yang memiliki sumber daya alam (SDA) yang melimpah ruah. Sayangnya SDA tersebut justru diserahkan kepada korporasi asing. Semestinya SDA ini dapat dijadikan sebagai sumber penerimaan negara yang utama. Dengan demikian Pemerintah tidak perlu menarik pajak dari rakyat.
Dari sisi pengeluaran anggaran, APBN Indonesia bersifat tetap (fixed). Konsekuensinya, alokasi anggaran tersebut harus habis terserap. Padahal faktanya, dari tahun ke tahun sebenarnya setiap kementerian tidak pernah mampu menyerap semua anggaran yang sudah diajukan. Akibatnya sering dilakukan berbagai cara yang tidak sehat agar anggaran bisa dihabiskan.
Berbeda dengan penyusunan APBN Islam. Mekanisme penyusunan APBN Islam memiliki paradigma yang berbeda dengan APBN konvensional.
Beberapa perbedaan tersebut adalah, (1) APBN Islam tidak dibuat setiap tahun. (2) APBN Islam tidak membutuhkan pembahasan dengan Majlis Umat. (3) Sumber pendapatan dan pos pengeluarannya telah ditetapkan oleh syariah. (4) Kepala Negara bisa menyusun APBN sendiri melalui hak adopsi yang melekat pada dirinya. (5) Alokasi dana masing-masing sumber pendapatan dan pos pengeluaran diserahkan kepada pendapat Kepala negara.
Dari kelima butir paradigma penyusunan APBN Islam itu, dapat dipahami bahwa APBN yang telah disusun dan ditetapkan oleh Kepala Negara/Khalifah dengan sendirinya akan menjadi Undang-Undang yang harus dijalankan oleh aparatur pemerintah.
Dari sisi sumber pendapatan dan pos-pos pengeluaran APBN Islam bersifat tetap, tetapi alokasi anggaran per masing-masing sumber pendapatan dan pos pengeluarannya bersifat fleksibel. Jika di tengah jalan ternyata penerimaannya kurang, dengan mudah Kepala negara akan menggenjot penerimaan tersebut.
Begitu juga dengan pengeluarannya. Jika alokasi yang dianggarkan berlebih, kelebihan tersebut tidak harus dihabiskan, tetapi bisa dikembalikan ke pemerintah pusat atau di tahan di masing-masing daerah sebagai saldo anggaran untuk dimasukkan dalam alokasi anggaran berikutnya.
Kebijakan keuangan dalam Islam menganut prinsip sentralisasi. Dana dari seluruh wilayah ditarik ke pusat, kemudian didistribusikan ke masing-masing daerah sesuai dengan kebutuhannya.
Jika ada daerah yang sedang membangun dan membutuhkan dana besar, sementara pemasukannya tidak sebesar yang dibutuhkan, maka negara akan menyubsidi daerah tersebut. Hal yang sama berlaku bagi daerah yang membutuhkan dana besar karena bencana atau wabah.
Dengan cara ini, tidak ada satu alokasi anggaran pun yang menguap tidak tepat sasaran. Pemerataan pembangunan pun bisa dilakukan dengan baik sehingga tidak ada ketimpangan antar daerah.
Dari sisi sumber-sumber penerimaan APBN Islam sama sekali tidak mengandalkan sektor pajak dan pinjaman. Sumber penerimaan negara ada tiga :
- Dari sektor kepemilikan individu. Misal : sedekah, hibah, zakat. Khusus untuk zakat tidak boleh bercampur dengan harta lain.
- Dari sektor kepemilikan umum. Misal : pertambangan, minyak bumi, gas alam, kehutanan, laut dll.
- Dari sektor kepemilikan negara. Misal : jizyah, kharaj dan sebagainya.
Fakta sekarang ini, sumber penerimaan terbesar yang dapat diandalkan negara seperti Indonesia adalah dari sektor kepemilikan umum seperti pertambangan, minyak bumi, gas alam, kehutanan, kelautan dsb. Negara hanya sebatas mengelolanya kemudian mengembalikan hasilnya kepada rakyat sebagai pemilik asalnya, sesuai ketentuan yang digariskan syariah. Dengan demikian Islam melarang kepemilikan umum dikuasai oleh individu atau swasta, apalagi asing, sebagaimana yang terjadi di Indonesia hari ini.
Apabila sumber pemasukan sudah mencukupi, negara tidak akan memungut pajak dari rakyatnya. Pemungutan pajak hanya dilakukan apabila anggaran negara dalam kondisi defisit. Pemungutannya pun bersifat sementara dan dibebankan kepada warga yang mampu saja.
Dalam hal pos pengeluaran , syariah Islam juga memberikan ketentuan jelas yang dapat dijadikan pegangan oleh Kepala negara untuk mengalokasikan pengeluarannya.
Ada 6 kaidah utama dalam pengalokasian anggaran, yaitu:
- Khusus untuk harta di dalam Kas APBN yang berasal dari zakat, maka pos pengeluarannya wajib hanya diperuntukkan bagi 8 ashnaf sebagaimana yang telah ditunjukkan dalam al-Quran surat al Taubah ayat 60.
- Pos pembelanjaan wajib dan bersifat tetap dari APBN Islam untuk keperluan jihad dan menutup kebutuhan orang-orang fakir dan miskin.
- Pos pembelanjaan wajib dan bersifat tetap dari APBN Islam untuk memberikan gaji (kompensasi) atas jasa yang telah dicurahkan untuk kepentingan negara, yaitu: pegawai negeri, hakim, tentara, dsb.
- Pos pembelanjaan untuk pembangunan sarana kemaslahatan rakyat yang bersifat wajib, dalam arti jika sarana tersebut tidak ada, maka akan menimbulkan kemadaaratan bagi rakyat. Contoh: pembangunan jalan, jembatan, sekolah, rumah sakit, masjid, air bersih dsb.
- Pos pembelanjaan wajib yang bersifat kondisional, yaitu untuk menanggulangi musibah atau bencana alam yang menimpa rakyat. Contoh: paceklik, gempa bumi, banjir, angin topan, tanah longsor, pandemi dan lain lain.
- Pos pembelanjaan untuk pembangunan sarana kemaslahatan rakyat yang bersifat tidak wajib, dalam arti sarana tersebut hanya bersifat penambahan dari sarana-sarana yang sudah ada. Jika sarana tambahan tersebut tidak ada, tidak akan menimbulkan kemadaratan bagi rakyatnya.
Dengan mengelola APBN sesuai syariah, negara menjadi berkah, rakyat sejahtera terjauh dari bala. Negara pun tak dibebani dengan hutang . Wallahu a’lam bi showab.
Rujukan : Kitab Nidzomul Iqtisody fil Islam karya Syaikh Taqiyyudin an Nabhani.
foto : cnbcindonesia.com