JAKARTA, PelitaJabar — Pusat pertumbuhan ekonomi baru di wilayah perbatasan saat ini mulai menggeliat seiring dengan diintensifkannya pembangunan di perbatasan oleh pemerintahan Joko Widodo. Hal ini terjadi seiring tekad pemerintah dalam membangun perekonomian dan kesejahteraan di mulai dari pinggiran.
Demikian benang merah Media Gathering dan Diskusi Publik yang digelar Visi Indonesia, Senin (24/9) di Jakarta.
Dengan tema “Optimalisasi Peran Jurnalis dalam Mengabarkan Pembangunan di Perbatasan” menghadirkan pembicara Kepala Bagian Humas Kementerian PUPR Krisno Yuwono, redaktur Wartakota Gede Moehanto dan peneliti perbatasan LIPI Syafuan Rozi Soebhan.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Menurut Krisno Yuwono, pemerintah saat ini telah mengubah paradigma lama wilayah perbatasan yang tadinya beranda belakang menjadi beranda depan. Apalagi setelah pemerintah Joko Widodo dengan nawacitanya, yaitu membangun negara dimulau dari pinggiran.
“Pembangunan di perbatasan menjadikan kebanggaan bagi warga yang tinggal di wilayah tersebut. Mereka bangga menjadi bagian Indonesia,” jelas Krisno.
Pemerintah saat ini telah membangun jaringan jalan yang membentang di sepanjang perbatasan. Pembangunan yang dilakukan baik yang bersifat paralel maupun akses menuju perbatasan.
“Pusat pertumbuhan ekonomi di perbatasan saat ini mulai tumbuh dan diharapakan lebih intensif lagi agar tidak tersedot ke negara tetangga. Antusiasme percepatan pembangunan di perbatasan dan pesisir sangat dirasakan dan disambut sukacita warga setempat.
“Ketika mayoritas warga perbatasan mendengar akan adanya pembangunan, mereka sangat senang berarti akan ada perbaikan jalan,” tambahnya.
Menurut dia, masyarakat perbatasan sangat membutuhkan jaringan jalan, karenanya sampai saat ini, pemerintah melalui Kementerian PUPR telah membangunn akses jalan perbatasan yang telah mencapat ribuan kilometer di Kalimantan dan ratusan kilometer di Papua dan Nusa Tenggara Timur.
“Hanya saja untuk wilayah Papua masih ada kendala. Ada beberapa ratus kilometer jalan perbatasan yang belum dibangun karena kondisi dan kontur tanah yang sangat ekstrim, bahkan ada yang mencapat 1.000 meter di atas permukaan laut,” katanya.
Senada, Gede Moenanto menekankan agar proses membangun di wilayah perbatasan, pemerintah diharapkan dapat menjaga, memperhatikan masyarakat dan budaya lokalnya yang sangat bersahaja.
Menurut Gede, pembangunan perbatasan memang penting, namun mereka butuh perhatian dalam melestatikan budayanya.
Peneliti LIPI Syafuan Rozi mengatakan, pembangunan di wilayah perbatasan oleh pemerintah dinilainya sudah sangat masif dan luarbiasa. Hanya saja, pemerintah dalam membangun perbatasan terhambat kendala terutama pembangunan jalan yang melalui lahan gambut.
“Jalan di bangun tapi amblas, ini perlu ada kearipan lokal yaitu menggunakan teknik pembuatan jalan tapi tidak mengganggu kearifan lokal, hutan juga tetap terlindungi,” katanya.
Meski ada kendala terutama di daerah daerah ekstrim dalam membangun jaringan jalan perbatasan, jangan sampai terhenti.
“Untuk wilayah Papua yang ekstrim geografisnya yang tidak mungkin dibuatkan jalan, maka saya sarankan agar membuat jalan kereta gantung, itu lebih mudah dan diharapkan masyarakat,” tegasnya.
Selain itu, Syafuan Rozi juga menyarankan agar pemerintah dalam membangun perbatasan juga menyerap potensi lokal sehingga dapat meningkatkan kapasitas dan kemampuan masyarakat perbatasan.
“Potensi kelapa sawit dan singkong di perbatasan yang sangat melimpah mestinya menjadi nilai tambah untuk diberdayakan oleh pemerintah, namun sampai saat ini hal itu belum maksimal,” pungkasnya. Mal