PENAMBAHAN penerimaan APBN sekitar 40 triliun dari kenaikan 1 % PPN, tak sebanding dengan dampak yang ditimbulkan yaitu inflasi, menurunnya daya beli masyarakat bahkan pemutusan hubungan kerja.
Sebagaimana banyak diberitakan, per 1 April 2022 Pemerintah dipastikan akan menaikkan Pajak Pendapatan Nilai (PPN) dari yang sebelumnya 10 % menjadi 11 %, menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani, kenaikan ini dimaksud untuk menambah penerimaan APBN.
Sejatinya, sekecil apa pun kenaikan PPN, dalam kondisi perekonomi saat ini yang masih belum stabil akibat krisis yang disebabkan pandemi Covid-19, akan menambah beban berat pemulihan ekonomi masyarakat.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Dapat dipastikan, kenaikan PPN akan diikuti kenaikan harga-harga barang. Hal ini tentunya memicu inflasi, juga daya beli masyarakat.
Penurunan daya beli masyarakat akan menyebabkan proses produksi terganggu karena barang-barang yang dihasilkan produsen tidak terserap pasar dengan baik. Dengan begitu, produksi akan menurun dan bisa jadi produsen akan melakukan PHK terhadap karyawannya.
Tak hanya karyawan yang kena imbas, dunia usaha yang masih terseok menuju pemulihan akibat Covid-19 kembali terkena hantaman, karena daya beli menurun.
Kita masih ingat, akibat kenaikan kedelai beberapa waktu lalu, banyak pengusaha tahu tempe akhirnya gulung tikar. Inilah efek domino saat PPN dinaikkan.
Demikian banyak dampak buruk yang mungkin timbul akibat kenaikan PPN ini yang semuanya menambah beban rakyat, semakin membuat rakyat hidup susah.
Seharusnya negara tidak menaikkan pajak dalam kondisi seperti ini. Untuk menambah pendapatan APBN tidak harus melalui pajak.
Tetapi demikianlah, sistem ekonomi kapitalis memang menjadikan pajak sebagai tumpuan utama pendapatan negara. Tak heran, meski rakyat dalam keadaaan susah, masih saja dibebani dengan berbagai pungutan pajak.
Sementara para konglomerat yang menguasai sumber daya alam negeri ini justru diberi keringanan dalam pembayaran pajak. Bahkan tak sedikit dari mereka ngemplang pajak.
Sebenarnya masih ada solusi untuk keluar dari permasalahan ini, hingga negara bisa bangkit menata ulang perekonomian dengan sistem yang baik. Sistem yang datang dari Dzat yang Maha Baik yaitu Allah SWT.
Sistem itu adalah sistem ekonomi Islam. Syariah Islam akan memberikan solusi bagaimana mendapatkan pemasukan negara tanpa harus membebani rakyat dengan berbagai pungutan pajak.
Syariah Islam memberikan tuntunan bagaimana agar negara memiliki sumber pemasukan yang mencukupi untuk operasional negara. Diantaranya adalah bertumpu kepada pengelolaan sumber daya alammilik umum.
Barang tambang, mineral,migas dan yang lainnya termasuk juga laut dan hutan dalam pandangan Islam semua itu menjadi milik umum. Islam memberikan amanah kepada negara agar mengelola kepemilikan umum tersebut yang hasilnya dikembalikan kepada rakyat.
Dari barang-barang kepemilikan umum ini saja sebenarnya kalau dikelola secara profesional sesuai dengan syariat itu lebih dari cukup untuk menjadi sumber pendapatan APBN.
Berbagai tambang seperti tambang emas di pegunungan Gasberg Irian Jaya, New Mont di Sumbawa, atau tambang batu bara, tambang minyak, perkebunan sawit yang jumlahnya jutaan hektar yang saat ini dikelola oleh swasta harus diambil alih oleh negara. Dengan begitu negara akan mendapatkan pemasukan melimpah dari sumber-sumber tersebut.
Di samping itu negara wajib meninjau ulang alokasi APBN. Negara bisa melakukan penghematan dengan memangkas pos-pos pengeluaran yang memang belum urgen. Seperti pembangunan ibu kota negara baru yang akan menyedot banyak dana, bisa ditunda sampai dana memungkinkan.
Hanya saja, APBN berbasis syariah ini harus didukung oleh institusi politik yang juga harus berbasis syariah.
Institusi politik dan ekonomi harus segera kita wujudkan demi terbebas dari APBN yang menyengsarakan dan menzalimi rakyat, menuju APBN yang barokah dan mensejahterakan umat manusia.
Bukan hanya muslim, dengan APBN berbasis Syariah, non muslimpun merasakan manfaatnya.
Wallahu a’lam bi showab