MENIKMATI kota yang bersih, udara bersih tanpa terganggu oleh tumpukan sampah yang menggunung dan bau tak sedap adalah hak dasar masyarakat dan menjadi tanggung jawab negara.
Sayangnya hak tersebut belum menjadi kenyataan. Di pinggir Jalan Raya Sadu Soreang misalnya, tumpukan sampah mengganggu lingkungan sekitar karena mengeluarkan bau busuk dan tak indah dipandang. Ada sekitar 1.321 ton sampah perhari di Kabupaten Bandung. Baru sekitar 62% yang dilakukan penanganan.
Sampah bukan hanya menjadi masalah di Kabupaten Bandung. Di Indonesia, sampah masih merupakan masalah serius. Hampir semua kota di Indonesia mengalami kendala dalam pengelolaan sampah. Kota boleh terlihat bersih, tapi muaranya sampah menumpuk di sungai, laut, dan ditimbun di Tempat Pembuangan Akhir (TPA).
Publikasi Kementerian Lingkungan hidup dan Kehutanan tahun 2020 lalu, timbulan sampah di Indonesia satu tahunnya mencapai 67,8 juta ton dan terus naik setiap tahunnya. Berdasarkan data tersebut, sekitar 60 % sampah diangkut dan ditimbun ke TPA, 10% di daur ulang, sedangkan 30% lainnya tidak dikelola secara baik. (KONTAN.CO.ID).
Sampah yang paling banyak diproduksi manusia adalah sampah organik. Namun ada sampah yang jumlahnya banyak dan sulit terurai serta berbahaya bagi alam, yaitu sampah plastik. Berdasarkan data Asosiasi Industri Plastik Indonesia (INAPLAS) dan Badan Pusat Statistik (BPS), sampah plastik di Indonesia mencapai 64 juta ton per tahun. Dan 3,2 juta ton terbuang ke laut.
Berbagai upaya untuk mengatasi timbulan sampah yang semakin menggunung telah dilakukan, baik oleh Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah. Ada Perpres, ada fatwa MUI, ada Perda. Namun hingga hari ini sampah tetap menjadi masalah.
Jika dicermati lebih mendalam, kegagalan penanganan masalah sampah tidak sekedar masalah teknis tapi terkait erat dengan masalah ideologis. Ideologi kapitalisme yang saat ini diterapkan memandang bahwa kebutuhan manusia itu tidak terbatas sementara alat pemuasnya sangat terbatas.
Secara ekonomi teori ini kemudian memunculkan keinginan para produsen untuk meraih keuntungan besar. Memanjakan konsumen dengan memproduksi alat pemuas kebutuhan manusia sebanyak-banyaknya. Dititik inilah maka kita saksikan produksi barang barang dengan berbagai kemasan sangat melimpah. Mayoritas barang-barang produksi itu dikemas dengan bahan dasar plastik.
Di sisi lain manusia yang menyenangi hal-hal yang praktis dan menyukai produk-produk baru, merasa diuntungkan dengan produk yang melimpah tersebut. Mereka membeli barang barang seperti pakaian, makanan, perkakas rumah tangga, dan lain-lain kadang bukan karena butuh tapi sekedar ingin ganti model, ingin mencicipi cita rasa makanan tertentu, ingin praktis tak mau repot.
Hal itu terus berlangsung demikian. Akibatnya produksi sampah semakin hari semakin bertambah. Kemasan produk menghasilkan sampah. Baju lama, perabot rumah tangga yang lama, meski masih layak pakai tak jarang terbuang menjadi tumpukan sampah.
Inilah dampak gaya hidup kapitalisme, melahirkan individu individu hedonis, individualistis, kurang peduli pada lingkungan. Maka seberapa banyak pun armada sampah disiapkan untuk mengangkut sampah, TPA ditambah, tak pernah mampu menyelesaikan timbulan sampah yang dihasilkan dari keinginan manusia yang tanpa batas.
Tata kelola negara dengan New Public Management dalam sistem kapitalis juga telah mereduksi peran negara yang semula sebagai pengurus urusan rakyat, menjadi regulator saja. Untung rugi menjadi spirit yang menjiwai hubungan pemerintah terhadap rakyat.
Hal ini tampak jelas saat Presiden Jokowi mengeluarkan Perpres no. 35 tahun 2018. Perpres itu berisi tentang Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolah Sampah Menjadi Energi Listrik Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan atau PLTSa. Perpres ini dalam pelaksanaannya dinilai oleh banyak kalangan membebani negara dan memberatkan APBN/APBD. Akibatnya banyak proyek PLTSa yang mangkrak, tumpukan sampahpun semakin menggunung.
Bertolak belakang dengan sistem kapitalis, Sistem Islam memberikan solusi tuntas terhadap persoalan sampah. Dengan landasan keyakinan bahwa : “Allah menciptakan kehidupan dan kematian untuk menguji kalian, siapa diantara kalian yang paling baik amalnya”, menjadi motivasi bagi seluruh elemen masyarakat untuk mempersembahkan yang terbaik dalam hidup. Tak terkecuali dalam pengelolaan sampah.
Tata kelola sampah dalam Islam terintegrasi antara individu, masyarakat dan negara.
Secara individu, Islam mendorong kesadaran individu terhadap kebersihan hingga level asasi yaitu keimanan terhadap surga dan neraka.
اَلْاِسْلَامُ نَطِـيْفٌ فَتَـنَطَفُوْا فَاِنَـهُ لايَدْخُلُ الْجَنَـةَ اِلانَطِيْفٌ
Islam itu bersih, maka jadilah kalian orang yang bersih. Sesungguhnya tidak masuk surga kecuali orang-orang yang bersih (H.R. Baihaqi).
Pemahaman tentang kebersihan ini menumbuhkan kesadaran individual untuk memperlakukan sampah dengan benar. Sampah dipilah dan dikelola secara mandiri.
Pengurangan sampah dilakukan secara individual dengan membeli makanan, pakaian, perabot rumah tangga dan sarana hidup lain sesuai kebutuhan bukan berdasar keinginan. Hal ini karena individu tersebut sadar bahwa setiap pengelolaan harta yang ia miliki kelak akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT.
Pada rumah tangga yang tinggal dilingkungan padat, acapkali tidak memiliki pengelolaan sampah secara mandiri. Karena itu pengolahan sampah komunal diperlukan. Rasulullah saw memberikan motivasi :
اِنَّ اللهَ طَيِّبٌ يُحِبُّ الطَّيِّبَ نَظِيْفٌ يُحِبُّ النَّظَافَةَ كَرِيْمٌ يُحِبُّ الْكَرَمَ جَوَادٌيُحِبُّ الْجَوَاد فَنَظِّفُوْااَفْنَيْتَكُمْ
”Sesungguhnya Allah Ta’ala itu baik (dan) menyukai kebaikan, bersih (dan) menyukai kebersihan, mulia (dan) menyukai kemuliaan, bagus (dan) menyukai kebagusan. Oleh sebab itu, bersihkanlah lingkunganmu”. (HR. At- Turmudzi).
Pengelolaan sampah komunal dilakukan dengan prinsip taawun, bekerja sama dalam kebaikan. Bahkan bisa jadi di antara masyarakat terdapat aghniyaa’ (orang kaya) yang bersedia mewakafkan tanahnya untuk mengelola sampah komunal. Masyarakat dapat dibebani kewajiban membakar, memilah, atau mengelola secara bergantian.
Selain peran individual dan komunal, dibutuhkan peran negara dalam tata kelola sampah. Kondisi pemukiman masyarakat yang heterogen, adanya pelaku industri yang menghasilkan sampah dalam jumlah banyak serta macam-macam sampah yang berbeda penanganannya, meniscayakan peran negara atas pengelolaan sampah masyarakat. Meski demikian pengelolaan sampah bukan jasa yang dikomersialisasi hingga didapatkan kompensasi dalam penyediaannya.
Negara akan mengedukasi masyarakat, bahwa pengelolaan sampah yang baik merupakan kebaikan. Dan bahwa manusia memiliki tanggung jawab dalam menjaga kebersihan lingkungan sebagai perlindungan terhadap makhluk Allah selain dirinya. Kokohnya pemahaman ini akan meruntuhkan sifat cuek dan individualisme dalam memandang persoalan sampah.
Negara juga akan memberikan aturan yang ketat kepada pelaku industri agar menggunakan bahan kemasan ramah lingkungan, tidak memadharatkan makhluk hidup. Mendorong ilmuwan untuk menciptakan teknologi pengelolaan sampah ramah lingkungan, kemudian diterapkan oleh pemerintah pusat maupun daerah sehingga sampah tertangani dengan baik.
Negara akan mencurahkan segala sumber daya, juga pendanaan untuk mengadakan instalasi pengelolaan sampah, agar sampah terkelola dengan baik.
Sejarah Kekhilafahan Islam telah mencatat pengelolaan sampah sejak abad 9-10 M. Pada masa Bani Umayah, jalan-jalan di Kota Cordoba telah bersih dari sampah-sampah karena ada mekanisme menyingkirkan sampah di perkotaan yang idenya dibangun oleh Qusta ibn Luqa, ar-Razi, Ibn al-Jazzar dan al-Masihi.
Tokoh-tokoh muslim ini telah mengubah konsep sistem pengelolaan sampah yang sebelumnya hanya diserahkan pada kesadaran masing-masing orang, karena di perkotaan padat penduduk telah berpotensi menciptakan kota yang kumuh.
Sebagai perbandingan, kota-kota lain di Eropa pada saat itu belum memiliki sistem pengelolaan sampah. Sampah-sampah dapur dibuang penduduk di depan-depan rumah mereka hingga jalan-jalan kotor dan berbau busuk.
Terbukti Islam telah menyelesaikan persoalan sampah dengan tata kelola yang baik. Masihkah berharap pada sistem selain Islam?
Wallahu a’lam
foto ayobandung