BANDUNG, PelitaJabar – Meski sempat goyang saat pandemi datang, namun Kampoeng Radjoet Binong Jati mampu bertahan. Bahkan, para pengrajin di sentra Binong Bandung ini mendapat pesanan via online, mencapai Rp 1 miliar per bulan.
Koordinator Kampoeng Radjoet, Eka Rahmat Jaya mengungkapkan, kisah para perajut Binong Jati yang bangkit dari keterpurukan ekonomi.
Sebagai generasi ketiga yang mewarisi usaha rajut, Eka menyampaikan, sejak tahun 1970-an tempat ini bernama Sentra Rajut.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Namun, rebranding jadi Kampoeng Radjoet pada tahun 2014. Satu perajut memiliki 10-20 karyawan. Jadi, sekitar 4.000 tenaga kerja yang diserap.
‘Perkembangan rajut di masa pandemi memang awal sempat turun. Apalagi ada transformasi digitalisasi ya sejak pandemi, itu terasa banget. Banyak yang kesulitan juga untuk menyesuaikan, terutama dari kalangan yang sudah senior-senior seangkatan bapak saya,’ papar Eka Selasa 5 April 2022.
Dulu, para perajut berjualan kaki lima atau menitipkan melalui jejaring mereka di Pasar Baru dan Tanah Abang. Namun, kini pilihannya hanya ada dua, terus bergerak dan berubah menyesuaikan zaman, atau tetap bertahan dengan cara lama, tapi berujung gulung tikar.

‘Pas pandemi melonjak, pasar-pasar ini kan pada tutup ya. Kita harus putar otak, akhirnya dicobalah beralih ke digital. Memang sulit, tapi lama-lama jadi bisa baca polanya, yang penting main di konten dan branding,’ akunya.
Dia mengaku dari penjualan online, bisa menghasilkan Rp 1 miliar.
‘Ya, dari usaha saya sendiri saja semasa pandemi minimal Rp1 miliar per bulan. Kalau Kampoeng Radjoet ini bisa lebih berkali lipat karena kita upload juga lewat marketplace,’ imbuh Eka.
Bahkan, dibandingkan dengan sentra usaha lainnya, Kampoeng Radjoet malah kebanjiran pesanan di masa pandemi. Apalagi sekarang pakaian rajut sudah menjadi fesyen sehari-hari.
Di Ramadan ini, Kampoeng Radjoet Binong Jati juga mengalami kenaikan penjualan. Sejak terjun ke dunia digital, dalam satu tahun trafficnya bisa tiga kali mengalami kenaikan.
Dulu, 90 persen pemasukan dari offline, 10 persen dari online. Namun, kini sebaliknya, online menjadi ceruk utama mesin-mesin di Kampoeng Radjoet tetap hidup.
‘Terutama di Ramadan ya, itu pasti. Khususnya di pakaian kasual dan hijab yang biasanya pembeliannya naik. Para reseller saya dari TKI dan TKW di Singapura dan Malaysia juga sering minta tambah stok. Kita juga sempat ekspor 50.000 lusin kupluk ke Amerika,’ paparnya.
Meski sempat merasakan angin segar, Eka mengatakan, akhir-akhir ini para perajut dihadapkan dengan harga bahan baku benang acrylic wool yang semakin mahal.
Agar tetap bertahan tanpa menjatuhkan harga produk, Eka mengatakan pentingnya branding dan konten media sosial. Para perajut juga harus rajin mencari tren yang sedang ramai di media sosial.
Kampoeng Radjoet bekerja sama dengan beberapa kampus mengajak mahasiswa magang lewat program ‘Sekolah Rajut. Diantaranya Unpar, Unpad, Unpas, Telkom University, Unibi, Politeknik Ganesha, dan kampus lain yang memiliki fakultas tekstil seperti ITB dan STT Tekstil.
‘Saya kerja sama dengan kampus-kampus untuk belajar bareng digital marketing. Mereka bikin konten dan brandingnya, kita sediakan produknya,’ mbuh Eka.
Tak hanya akademisi, Eka juga menggait komunitas untuk meluaskan informasi tentang Kampoeng Radjoet di ranah digital. Baginya, kebiasaan masyarakat sekarang sudah bergeser pula ke arah digital. Semua informasi bisa diperoleh dari Google, Instagram, Tiktok, dan Youtube.
‘Kalau rajut terus rame, kampung ini juga akan terus keangkat, yang tadinya UMKM itu usaha kecil menengah, jadi usaha kecil milyaran mudah-mudahan ya,’ pungkasnya. ***