BANDUNG, – PelitaJabar – Tersangka kasus suap perizinan proyek Meikarta, Bartholombbeus Toto kembali mempertanyakan soal total uang suap yang disebut KPK Rp 10 miliar.
Pada video dengan judul “Toto Vlog #3 Penutup Bedah Kasus : Kenapa Saya Harus Dijadikan Tersangka Meikarta” yang dilihat Selasa (3/12/2019) malam, Toto mengungkap alasan mengapa dirinya tak mau membedahnya dari segi hukum.
“Pertama saya bukan ahli hukum. Berkaca pengalaman dalam pusaran kasus Meikarta, saya menghadapi kenyataan bahwa hukum itu bukan semata-mata persoalan fakta atau pembuktian,” ujarnya dalam video tersebut.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Sebagai seorang yang berlatar belakang operasional perbankan, Toto menyebut analisa yang dipakainya adalah metode value the money. Ia memulainya dengan apa yang terjadi pada 14 Oktober 2018. Ketika itu KPK melakukan OTT terhadap Taryudi (Tim Billy Sindoro) dan Neneng Rahmi (Tim Bupati Neneng).
“Uang yang di OTT dari media massa diperoleh informasi 90 ribu dolar Singapura, Rp 23 juta, lalu ditambah Rp 513 Juta. Jadi totalnya kira-kira Rp 1,5 miliar, bukan Rp 10 miliar atau Rp 10,5 miliar. Nah, darimana datangnya uang yang Rp 10 miliar ini? Uang Rp 10 miliar ini berdasarkan dari pengembalian Bupati Neneng ke KPK. Katanya sih dari Lippo. Tidak ada penjelasan dari mana sebetulnya asal uang ini. Pokoknya ada uang yang dikembalikan Rp 10 miliar, titik,” terangnya.
Jika mau mencari tahu, uang sejumlah Rp 10 miliar itu bukan jumlah kecil, apalagi tunai. Untuk mengmbil uang di bank secara tunai Rp 500 juta saja, wajib menunjukkan KTP dan belum tentu bisa langsung Rp 10 miliar.
Menurutnya, kalau dicicil, artinya harus bolak-balik ambil ke bank 20 kali. Nah waktu pengembalian uang Rp 10 miliar tersebut, dirinya menjabat sebagai Presdir Lippo Cikarang.
Dalam sidang, Bupati Neneng bersaksi dia disuap perizinan Meikarta itu dengan Billy Sindoro. Jumlahnya antara Rp 10 miliar sampai dengan Rp 20 miliar. Sementara Billy tidak pernah mengakui ada deal tersebut. Lagian yang di-OTT hanya RP 1,5 miliar.
“Pertanyaannya, uang Rp 10 miliar yang dikembalikan itu sumbernya dari mana?” tanyanya.
Dalam video tersebut dia menyinggung peran Edy Dwi Soesianto atau Edi Soes yang saat itu menjabat sebagai Kepala Divisi Perizinan Lippo Cikarang. Saat itu, Edi Soes sudah disiapkan solusi sampai akhirnya muncul narasi uang suap untuk IPPT Meikarta sebesar Rp 10 miliar bersal dari dirinya.
“Lalu dilengkapi cerita bahwa uang tersebut diterima secara tunai dari Sekretaris Direksi Lippo Cikarang pada masa itu yang bernama Melda Peni Lestari. Katanya serah terimanya di helipad Lippo Cikarang,” tuturnya.
Skenario itu, ujar Toto, terlihat cocok sampai ia akhirnya jadi tersangka. Namun ia mempertanyakan apakah laporan keuangan Lippo Cikarang dan Lippo Karawaci pernah diperiksa oleh KPK dan apakah ada bukti uang tunai yang keluar Rp 10 miliar.
“Mereka perusahaan publik yang diawasi OJK. Saya sebagai presdir, mana bisa mengeluarkan uang Rp 10 miliar tanpa proses dan anggaran yang jelas. Dua, uang tunai rupiah itu volume fisiknya besar dan berat. Bagaimana cara bawanya? Apakah seorang Melda kuat dan berani membawa uang sendiri. Pasti perlu bantuan dan pengawalan. Jadi mestinya harus ditanya siapa saksinya,” ujarnya.
Ironisnya, di persidangan, sebagaimana dikatakan Toto di videonya, Melda membantah tuduhan dari Edi Soes. Namun malah Melda yang dituduh bersaksi palsu.
Di akhir video, dirinya bersedia secara transparan dan terbuka membandingkan fakta dan bukti. Mal