DAMPAK penerapan ideologi kapitalis sekuler seringkali mendistorsi pemikiran kaum muslim terkait
konsep pemikiran Islam.
Zakat misalnya, sering diasumsikan sebagai ibadah sosial, bukan termasuk ibadah murni. Padahal sejatinya zakat memiliki kedudukan yang kurang lebih sama dengan ibadah lain seperti shalat, shaum dan haji.
Ia adalah bentuk ibadah yang sudah given dan harus diterima sebagaimana adanya (taken for granted). Hal ini karena zakat tidak termasuk dalam wilayah ijtihadi, tetapi termasuk dalam wilayah taqqîfî.
Distorsi itu tampak misalnya dari kampanye MUI Kabupaten Bandung terkait denga penetapan penunaian zakat fitrah 1442 H ini. MUI mengkampanyekan, pelaksanaan zakat fitrah dengan uang sangat tepat dilakukan di masa pandemi ini.
Sebagaimana dilansir pikiran _rakyat.com, Sekretaris Umum MUI Kabupaten Bandung, Harry Yuniardi mengatakan, banyak hadis maupun kajian kitab kuning yang membolehkan pembayaran zakat fitrah dengan cara diuangkan. Hal itu disebabkan pembayaran zakat bertumpu pada manfaat khususnya bagi penerima zakat (Mustahik).
Terlebih saat ini akibat dampak dari pandemik Covid-19 telah membuat ambruk tatanan ekonomi masyarakat.
Tentu zakat fitrah dengan uang akan sangat besar sekali manfaatnya bagi masyarakat baik bagi penerimanya (mustahik), maupun bagi pezakatnya (muzakki), bahkan bagi penyelenggaranya (amil), kata Harry saat dihubungi, Sabtu, 10 April 2021.
Pelaksanaan zakat jika dengan uang sangat tepat dilakukan di masa pandemi ini. (jurnalsoreang.pikiran-rakyat.com).
Kampanye ini tidak terlepas dari kebijakan sebelumnya yang sudah ada, dimana Baznas Kabupaten Bandung menetapkan besaran zakat fitrah tahun 1442 H jika diuangkan adalah sebesar Rp.30.000,-
Memang terjadi perbedaan pendapat di kalangan para ulama terkait kebolehan zakat fitrah dengan uang. Namun yang perlu digarisbawahi tidak seharusnya pengambilan kebijakan yang akan diterapkan negara menyesuaikan dengan situasi dan kondisi serta ada atau tidak adanya manfaat.
Pertimbangan harus merujuk pada ketetapan nash syariah. Karena hanya dengan merujuk pada ketetapan nash syariah ini sajalah ibadah itu akan bernilai pahala di hadapan Allah SWT.
Terkait zakat fitrah, Islam telah menetapkan berbagai aturan dan mekanisme yang jelas termasuk obyek atau bentuk yang mesti dikeluarkan. Zakat fitrah tidaklah ditujukan untuk kepentingan sosial, tetapi semata-mata ditujukan untuk beribadah dan bertaqorrub kepada Allah SWT.
Jikapun mengandung implikasi sosial, sebagaimana sabda Rasulullah SAW. “Cukupilah kebutuhan mereka (kaum fakir miskin) supaya tidak meminta-minta pada hari (idul Fitri) itu (HR al-Bayhaqi dan ad- Daruquthni) Itu hanyalah hikmah dari pelaksanaan zakat.
Dalam nash yang lain, isyarat kewajiban zakat justru banyak mengarah pada upaya penyucian jiwa bagi pihak yang mengeluarkannya.
Misal sabda Rasulullah SAW, Engkau mengeluarkan zakat karena sesungguhnya zakat itu penyuci yang dapat menyucikan dirimu. (HR Ahmad).
Terkait dengan bentuk zakat fitrah, apakah berupa makanan pokok atau boleh dengan uang ?
Ustadz Sidiq al-Jawi menukilkan beberapa pendapat ulama sebagai berikut:
Pertama, pendapat yang membolehkan. Ini adalah pendapat sebagian ulama seperti Imam Abu Hanifah, Imam Tsauri, Imam Bukhari, dan Imam Ibnu Taimiyah. (As-Sarakhsi, al-Mabsuth, III/107; Ibnu Taimiyah, Majmu’ al-Fatawa, XXV/83).
Dalil mereka antara lain firman Allah SWT (artinya), ”Ambillah zakat dari sebagian harta mereka.” (QS
at-Taubah [9] : 103).
Menurut mereka, ayat ini menunjukkan zakat asalnya diambil dari harta (mal), yaitu apa yang dimiliki berupa emas dan perak (termasuk uang). Jadi ayat ini membolehkan membayar zakat fitrah dalam bentuk uang. (Rabi’ Ahmad Sayyid, Tadzkir al-Anam bi Wujub Ikhraj Zakat al-Fithr Tha’am, hal. 4)
Mereka juga berhujjah dengan sabda Nabi SAW,”Cukupilah mereka (kaum fakir dan miskin) dari meminta-minta pada hari seperti ini (Idul Fitri).” (HR Daruquthni dan Baihaqi).
Menurut mereka, memberi kecukupan (ighna`) kepada fakir dan miskin dalam zakat fitrah dapat terwujud dengan memberikan uang. (Abdullah Al-Ghafili, Hukm Ikhraj al-Qimah fi Zakat al-Fithr, hal. 3)
Kedua, pendapat yang tidak membolehkan dan mewajibkan zakat fitrah dalam bentuk bahan makanan pokok (ghalib quut al-balad). Ini adalah pendapat jumhur ulama Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah. (Al-Mudawwanah al-Kubra, I/392; Al-Majmu’, VI/112; Al-Mughni, IV/295).
Dalil mereka antara lain hadits Ibnu Umar RA bahwa, ”Rasulullah SAW telah mewajibkan zakat fitrah berupa satu sha’ kurma atau satu sha’ jewawut (sya’ir) atas budak dan orang merdeka, laki-laki dan perempuan, anak-anak dan orang dewasa, dari kaum muslimin.” (HR Bukhari, no 1503).
Hadits ini jelas menunjukkan zakat fitrah dikeluarkan dalam bentuk bahan makanan, bukan dengan dinar dan dirham (uang), padahal dinar dan dirham sudah ada waktu itu. (Rabi’ Ahmad Sayyid, Tadzkir al-Anam bi Wujub Ikhraj Zakat al-Fithr Tha’am, hal. 9).
Menurut kami, yang rajih adalah pendapat jumhur yang tak membolehkan zakat fitrah dengan uang dan mewajibkannya dalam bentuk makanan pokok. Alasan kami, Pertama, ayat QS at-Taubah : 103 memang bersifat global (mujmal), yaitu zakat itu diambil dari harta (mal).
Namun telah ada penjelasan (bayan) dari As-Sunnah yang merinci bahwa harta yang dikeluarkan dalam zakat fitrah adalah bahan makanan, bukan uang. (Ustadz Siddiq Al Jawie)
Kedua, hadits yang dijadikan dalil adalah dhaif (lemah), karena ada seorang periwayat hadits bernama Abu Ma’syar yang dinilai lemah.
Demikianlah menurut Imam Nawawi (al-Majmu’, VI/126), Ibnu Hazm (al-Muhalla, VI/121), Imam Syaukani (Nailul Authar, IV/218), Imam az-Zaila’i (Nashbur Rayah, II/431), Ibnu Adi, (al-Kamil fi adh-Dhu’afa, VII/55), dan Imam Nashiruddin al-Albani (Irwa`ul Ghalil, III/844). Padahal hadits dhaif tidak layak dijadikan dasar hukum.
Kalaupun dianggap sahih, hadits itu bersifat mutlak, tanpa penjelasan bagaimana caranya mewujudkan kecukupan (ighna`).
Maka as-Sunnah memberikan pembatasan (taqyid) mengenai caranya, yaitu mengeluarkan zakat fitrah dalam bentuk bahan makanan, bukan dengan uang. (Nada Abu Ahmad, Ahkam Zakat al-Fithr Hal Yajuzu Ikhrajuha Qiimah, hal. 35).
Kesimpulannya, pendapat yang rajih adalah membayar zakat fitrah dalam bentuk makanan pokok bukan dalam bentuk uang.
Wallahu a’lam