GUBERNUR Jawa Barat Ridwan Kamil membuat program penanaman padi oleh anggota pramuka, Maret mendatang. Akan ada 5 juta anggota pramuka Jabar mendapatkan 1 pot padi untuk dipelihara dan ditanam di rumah masing-masing. Bibitnya dari Pemprov Jabar, dan hasilnya jug akan dibeli oleh Pemprov Jawa Barat.
Hal ini dilakukan untuk menghindari potensi krisis pangan karena COVID-19,
“Sambil melatih anak-anak kota untuk mulai berlatih urban farming. Semoga dengan konsep ini, potensi krisis pangan karena COVID bisa kami hindarkan. Mari semua, Tepuk Pramuka!” kata Ridwan Kamil. (Voi.id, 5/2/2021)
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Sebagaimana diketahui, Badan Pangan Dunia (FAO) sejak jauh-jauh hari sudah memperkirakan bakal adanya krisis pangan. Diperkirakan, krisis terjadi akibat pandemi Covid-19 berkepanjangan. Ditambah bencana yang makin memperparah itu.
Akibat bencana, harga sejumlah bahan pangan termasuk cabai, sayuran dan sebagainya kembali meroket. Dampaknya, sentra budi daya gagal panen karena hujan dan banjir.
Urban Farming program ini dianggap Gubernur Jabar sebagai bagian dari solusi untuk mengatasi krisis pangan. Dimana potensi Milenials bisa dimanfaatkan untuk bersaing di dunia kapitalisme. Solusikah?
Bila dicermati, realitasnya problem krisis pangan ini tidak bisa diatasi dengan solusi teknis pragmatis semata, namun harus dilakukan koreksi total pada konsep pengelolaan pangan. Kenapa? Sebab berbagai problem yang tidak teratasi selama ini malah terus bertambah akibat tata kelola yang rusak.
Ketidakmampuan negara mewujudkan ketahanan bahkan kedaulatan pangan disebabkan penerapan tata kelola neoliberal dengan sistem politik demokrasi. Serta membebeknya Indonesia pada berbagai ikatan internasional yang jelas-jelas merugikan.
FAO juga pernah menyatakan saat ini produksi pangan global sangat mencukupi untuk memenuhi kebutuhan penduduk dunia. Namun buruknya sistem pangan menyebabkan distribusi pangan tidak merata ke seluruh manusia.
Hal ini dialami Indonesia saat ini. Produktivitas pertanian bisa ditingkatkan, namun jaminan pangan tetap sulit terwujud. Pengelolaan yang buruk ini berpangkal dari dijauhkannya negara dari fungsinya sebagai pemelihara urusan rakyat. Pemerintah hanya sebatas regulator yaitu penyusun regulasi. Itu pun regulasi yang berpihak pada korporasi.
Akhirnya pengelolaan urusan pertanian dan pangan sangat bergantung pada kehadiran investasi korporasi. Padahal ketika pengelolaan suatu urusan diserahkan kepada korporasi, orientasinya keuntungan semata dan jauh dari komitmen melayani kebutuhan rakyat.
Paradigma rusak ini pula yang menjadikan pemerintah terus menerus menggulirkan program yang jauh dari tujuan kemaslahatan rakyat. Seperti megaproyek food estate yang dijadikan alasan program peningkatan ketahanan pangan. Namun faktanya, tetap dikelola dengan mindset korporat.
Sehingga sekalipun dari food estate dihasilkan produksi pangan yang berlimpah, tetap bukan jaminan bagi ketahanan pangan rakyat. Konsep buruk ini juga menyebabkan negara absen dalam pengaturan tata niaga pangan. Harga pangan rentan dipermainkan para spekulan dan rakyatlah yang menjadi korban.
Termasuk dalam kebijakan impor pangan yang jor-joran tanpa perhitungan. Yang sebenarnya merupakan tarik-menarik kepentingan para pemburu rente. Bukan untuk kesejahteraan rakyat.
Satu-satunya solusi untuk mengakhiri penderitaan rakyat dan berbagai kesulitan pangan hanyalah dengan kembali kepada penerapan Islam kaffah. Sebab, hanya dalam Islam kita mendapati pemerintahan yang benar-benar tulus dan serius mengurusi rakyat.
Rasulullah SAW telah mengingatkan, “Imam (Khalifah) raa’in (pengurus hajat hidup rakyat) dan dia bertanggung jawab terhadap rakyatnya.” (HR Muslim dan Ahmad).
Islam adalah sistem aturan yang kompleks. Masalah ketahanan pangan dapat diselesaikan dengan mudah oleh Islam. Setidaknya ada lima prinsip pokok tentang ketahanan pangan yang bisa digagas dan diterapkan, yang pernah dijalankan di masa panjang dari Kekhilafahan Islam, yang tetap relevan hingga masa-masa mendatang.
Pertama, optimalisasi produksi. Yaitu mengoptimalkan seluruh potensi lahan untuk melakukan usaha pertanian berkelanjutan yang dapat menghasilkan bahan pangan pokok. Peran berbagai aplikasi sains dan teknologi, mulai dari mencari lahan optimal untuk benih tanaman tertentu, teknik irigasi, pemupukan, penanganan hama, hingga pemanenan dan pengolahan pascapanen.
Kedua, adaptasi gaya hidup, agar masyarakat tidak berlebih-lebihan dalam konsumsi pangan. Konsumsi berlebihan justru berpotensi merusak kesehatan (wabah obesitas) dan juga meningkatkan persoalan limbah. Nabi mengajarkan agar seorang mukmin baru makan tatkala lapar dan berhenti sebelum kenyang.
Ketiga, manajemen logistik, di mana masalah pangan beserta yang menyertainya (irigasi, pupuk, antihama) sepenuhnya dikendalikan pemerintah, yaitu dengan memperbanyak cadangan saat produksi berlimpah dan mendistribusikannya secara selektif pada saat ketersediaan mulai berkurang. Di sini teknologi pascapanen menjadi penting.
Keempat, prediksi iklim, yaitu analisis kemungkinan terjadinya perubahan iklim dan cuaca ekstrem dengan mempelajari fenomena alam seperti curah hujan, kelembapan udara, penguapan air permukaan, serta intensitas sinar matahari yang diterima bumi.
Kelima, mitigasi bencana kerawanan pangan, yaitu antisipasi terhadap kemungkinan kondisi rawan pangan yang disebabkan oleh perubahan drastis kondisi alam dan lingkungan. Mitigasi ini berikut tuntunan saling berbagi di masyarakat dalam kondisi sulit seperti itu. (Fahmi Amhar, 2018)
Inilah prinsip-prinsip Islam dalam mewujudkan ketahanan pangan. Cara ini hanya bisa tercapai jika didukung sistem ekonomi Islam, sistem pemerintahan Islam, dan sistem Islam lainnya. Kombinasi hebat ini akan mewujudkan ketahanan pangan yang diimpikan.
Wallahu a’lam bishshawab