BANDUNG, PelitaJabar – Bukan orkestra, apalagi gamelan, melainkan musik yang lahir dari dapur, seperti dentingan sendok logam dan gemericik air, di mana aroma rempah, rasa, dan suara berpadu menjadi satu harmoni yang menenangkan jiwa.
Begitulah suasana cita rasa, budaya, dan diplomasi berpadu dalam sebuah perhelatan bertajuk “Pesuguhan: A Sensoritual Gastrodiplomacy”, bagian dari rangkaian Asia Africa Youth Forum (AAYF) 2025.
Tak hanya pengalaman kuliner yang memanjakan lidah, namun juga mengangkat nilai-nilai spiritual, kemanusiaan, dan kerja sama antarbangsa melalui makanan.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
“Saya pernah ke New York dan menyaksikan bagaimana restoran Korea bisa mengubah wajah sebuah jalan. Itulah kekuatan gastrodiplomasi, diplomasi melalui rasa,” beber Wali Kota Bandung Muhammad Farhan di hadapan tamu dari berbagai negara, termasuk Rwanda, Guinea, Uni Emirat Arab, dan Papua Nugini.
Kuliner bukan sekadar urusan dapur atau bisnis, namun bagian dari ekosistem ekonomi kreatif yang kini tumbuh pesat di Indonesia, dan Bandung sebagai salah satu pusatnya.
“Makanan tradisional seperti bubur hanjeli atau wedang tebu bukan hanya hidangan lokal, tetapi juga simbol ketahanan pangan dan identitas bangsa,” tambahnya.
Baginya, pesuguhan hari itu adalah ajakan untuk memahami kekuatan rasa, bagaimana satu sendok makanan bisa menghadirkan kedekatan, kepercayaan, bahkan perdamaian.
Sekretaris Kemenparekraf, Dessy Ruhati menjelaskan, sensorial gastrodiplomacy adalah bentuk diplomasi rasa yang memadukan unsur indra rasa, aroma, tekstur dengan nilai spiritualitas seperti syukur, refleksi, dan empati.
“Makanan sederhana seperti tiwul, gatot, cireng, atau papeda membawa jiwa leluhur kita. Dari keterbatasan, lahir kreativitas dan ketangguhan. Itulah semangat sensorial gastrodiplomacy,” jelasnya.
Berbagai program seperti Indonesia Spice Up the World, Creative Culinary Hubs, dan Bangga Buatan Indonesia menjadi wadah memperkenalkan kuliner Nusantara ke dunia.
“Melalui rasa, aroma, dan cerita, mereka menemukan kekuatan sejati dari cita rasa dan kebersamaan. Di sanalah sensorial itu dimulai — bukan di lidah, tapi di hati,” pungkas Dessy. ***