BANDUNG, PelitaJabar – Carut marut dunia pendidikan di Jawa Barat kembali menuai kontoversi. Jelas-jelas jarak rumah dengan sekolah sesuai dengan aturan di PPDB 2023. Namun tampaknya hal itu tak berlaku bagi SMAN 20 Bandung. Pasalnya, salah satu calon orangtua siswa bernama Budi, tidak diterima di SMAN 20 Bandung.
Anaknya didaftarkan ke sekolah tersebut, dimana jarak rumah ke sekolah berkisar 800 meter. Namun, setelah melalui proses pendaftaran, nama sang anak tak tercantum sebagai calon siswa di SMAN 20 Bandung.
“Awal pendaftaran, kami mengisi daftar isian sesuai arahan. Namun baru disadari jika ternyata kami kurang tepat dalam menentukan titik koordinat, sehingga tercantum jaraknya kurang lebih 814 meter. Kami mendapat notifikasi melalui pesan WA (Whatsapp) untuk perbaikan pada 4 Juli 2023 pagi dan langsung menemui salah satu staf panitia di SMAN 20,” beber Budi, Senin 11 Juli 2023.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Dia melanjutkan, anaknya mendapatkan nomor pendaftaran 20219397-9-200303.
Pengecekan rutin terus dilakukan lewat website PPDB, anaknya terlempar dari daftar kuota calon peserta didik baru di SMAN 20 Kota Bandung, tergantikan oleh calon peserta didik lain yang sesuai pantauan titik koordinat yang awalnya diatas 800 meter lebih, berubah menjadi sekitar 760 meter.
Melihat ini, pada tanggal 7 Juli 2023, pihaknya kembali mendatangi SMAN 20 Kota Bandung untuk konfirmasi. Bagusnya, Budi dan keluarga bertemu langsung dengan Koordinator PPDB di satuan pendidikan tersebut, bernama Pipih.
Keluarga memohon agar perbaikan titik koordinat bisa dilakukan kembali sebagai upaya verifikasi faktual. Namun menurut Pipih, proses seleksi masih berlangsung, termasuk dari pilihan kedua sekolah lain, sehingga daftar nama calon peserta didik baru itu masih dinamis sampai dengan pengumuman penetapan tanggal 10 Juli 2023 pukul 14.00 WIB.
Namun hingga 10 Juli 2023 pagi, daftar nama tidak kunjung ada perubahan dan masih sama seperti 7 Juli 2023.
“Daftar nama calon siswa baru di SMAN 20 setelah dicek dari 7 sampai 10 Juli 2023 tidak ada yang berubah. Nama anak kami tetap tidak ada. Maka dari itu kami datang lagi ke SMAN 20 untuk meminta kepastian informasi,” jelas Budi yang berdomisili di alamat tercantum sejak 1975.
Lalu pada 10 Juli 2023 sekitar pukul 10.00 WIB, Budi dan keluarga kembali mendatangi SMAN 20 membawa surat dan bukti sebagai lampiran, namun Pipih mengatakan ia berpatokan pada sistem.
“Iya, ini kan kesesuaiannya berdasarkan sistem,” ujarnya. Ia pun berdalih pihaknya tidak bisa mengubah sistem dan titik koordinat yang diharapkan oleh Budi dan keluarga, tanpa memberikan solusi.
Terkesan lebih mementingkan sistem ketimbang membantu masyarakat, akhirnya, Pipih menyarankan Budi untuk ke KCD VII di Cimahi menindaklanjuti permasalahannya.
Ironisnya, setelah di KCD VII, Budi mendapat penjelasan, persoalan perubahan titik koordinat ranah dari satuan pendidikan, dalam hal ini di SMAN 20.
“Penyelesaian masalah kelengkapan administrasi, kesalahan input data, penetapan titik koordinat, kesulitan akses aplikasi PPDB, dan daftar ulang, adanya di Satuan Pendidikan,” kata staf bernama Kurnaeni dan Julaeha.
Dijelaskan, waktu masa sanggah dan pengaduan sesuai ketentuan PPDB ada dua tahap. Tahap kedua adalah dari tanggal 28 Juni-3 Juli 2023.
“Sosialisasi ini yang belum kami pahami,” keluh Budi yang terlihat menderita akibat sistem PPDB.
Lalu staf di KCD VII mengecek kembali titik koordinat dari rumahnya ke SMAN 20 Kota Bandung melalui komputer. Hasilnya, berjarak kurang lebih 771 meter. Sedangkan pada PPDB 2023 di SMAN 20 Kota Bandung, jarak terjauh yang diterima dalam jalur zonasi ini (urutan 142) adalah sekitar 803 meter.
Tersingkirnya anak dari Budi dan Elis istrinya ini dari calon peserta didik di Satpen SMAN 20 Kota Bandung, menambah daftar panjang polemik PPDB 2023.
Atas kejadian tersebut, Budi dan keluarga sangat terpukul. Pasalnya SMAN 20 menjadi dambaan anaknya, dimana selama bersekolah di SMPN 7 Kota Bandung, nilainya cukup baik dan ada di sepuluh besar, termasuk nilai akhir.
Lalu, dimana keadilan bagi masyarakat yang ingin mendapatkan haknya, untuk mengenyam pendidikan, sementara di satu sisi, sistem zonasi berdampak seperti dialami Budi? ***