KENAIKAN PERTAMAX per satu April dari Rp 9.000 menjadi Rp 12.500 dan rencana kenaikan pertalite serta gas melon Juli mendatang, akan berdampak buruk bagi masyarakat. Bagaimana pun bahan bakar minyak dan gas elpiji masuk dalam kebutuhan pokok masyarakat. Semua dipakai dalam keseharian.
Belajar dari kenaikan elpiji 2012 lalu yang efeknya buruk bagi pertumbuhan ekonomi, menimbulkan inflasi, kenaikan harga-harga barang serta menambah angka kemiskinan, kenaikan kali ini juga akan membawa ekses yang sama.
Dengan naiknya BBM, komponen biaya ekonomi juga dipastikan naik. Biaya ekonomi ini pasti akan menghambat pertumbuhan ekonomi. Pun inflasi, kenaikan harga Rp 1.000 saja menyebabkan inflasi. Sementara pertamax dimana kenaikannya mencapai Rp 3.500, pastinya akan lebih buruk.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Bagi perusahaan, komponen BBM yang digunakan dalam industri agar menjadi barang jadi mencapai 30%. Dengan naiknya BBM, dipastikan akan menaikkan harga-harga kebutuhan pokok dan barang-barang produksi lainnya.
Kenaikan BBM juga dipastikan menyebabkan angka kemiskinan akan bertambah, karena dengan naiknya harga-harga barang membuat pendapatan Rp 600.000 per bulan pun tidak akan mencukupi kebutuhan.
Sementara BPS menetapkan orang yang memiliki penghasilan Rp 300.000 per bulan sebagai standar kemiskinan.
Kenaikan harga minyak internasional, menjadi alasan pemerintah menaikkan BBM. Seharusnya hal itu tidak perlu terjadi. Mengapa? Karena negara kita kaya akan sumber daya alam, tak terkecuali minyak dan gas.
Indonesia berada di urutan 22 penghasil minyak bumi. Sayangnya pengelolaannya diserahkan pada Swasta dan Asing. Sementara, Pertamina hanya mengelola sebagian kecil saja.
Di samping itu ekspor minyak Indonesia masih dalam bentuk minyak mentah. Indonesia misalnya mengekspor minyak mentah ke Singapura. Setelah Singapura mengolahnya menjadi minyak jadi, di ekspor kembali ke Indonesia dengan harga bisa 10 kali lipat harga jual minyak mentah. Ini kan jelas sangat merugikan Indonesia.
Indonesia juga masuk dalam OPEC. Otomatis penentuan harga dan besaran eksplorasinya akan tergantung pada ketentuan OPEC, tidak mandiri.
Indonesia juga terikat dengan letter of intent IMF tahun 1998 yang menjadi pintu masuknya 3 perusahaan besar milik Amerika mengeksploitasi migas di Indonesia.
Inilah diantara penyebab meski Indonesia kaya sumber daya migas tapi rakyat masih harus membeli dengan harga tinggi dan menyusahkan mereka.
Sejatinya kalau pengelolan migas ini dikelola berdasarkan tata kelola migas Islam, rakyat Indonesia bisa menikmati migas ini dengan harga murah.
Rasulullah SAW bersabda:
الْمُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِي ثَلَاثٍ فِي الْمَاءِ وَالْكَلَإِ وَالنَّارِ وَثَمَنُهُ حَرَامٌ
“Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal; air, rumput dan api. Dan harganya adalah haram.
Hadits ini menjelaskan bahwa umat manusia itu sama-sama membutuhkan (berserikat) atas tiga hal, yaitu air, rumput (hutan) , dan api/minyak dan gas. Atas ketiganya diharamkan harganya. Artinya tidak boleh dikomersialkan dan harus dikelola negara.
Air, padang rumput , dan api/minyak dan gas itu merupakan infrastruktur penyangga kehidupan rakyat yang tidak boleh dikomersialkan atau dijual ke pribadi-pribadi guna dimanfaatkan untuk bisnis pribadi secara komersial. Negara yang wajib mengelola.
Bila negara sendiri yang mengelola minyak dan gas, maka negara bisa dengan mudah menyediakan pertamax, pertalite, elpiji dengan harga semurah mungkin, sebatas mengganti ongkos produksi. Karena migas hakikatnya milik rakyat, Negara tidak boleh menjualnya kepada rakyat.
Sisanya bisa di ekspor dengan harga mengikuti harga dunia, sehingga mendapatkan keuntungan yang berlipat ganda. Tetapi semua keuntungan itu juga akan dikembalikan lagi kepada rakyat seperti menyediakan berbagai fasilitas publik misal untuk fasilitas kesehatan atau pendidikan, karena migas termasuk kemilikan umum yang haram dimiliki negara.
Persoalannya, adakah political will dari negara untuk mengelola sumber daya migas dengan benar sehingga tak membebani rakyat?
Wallahu a’lam bi showab
foto : www.cnbcindonesia.com