BANDUNG, PelitaJabar – Direktur Eksekutif Indonesia Bureaucracy Monitoring (IBM) Moeslimin Achmad menilai, ada masalah dalam pengelolaan IPDN, yaitu oligarki birokratisme kekuasaan yang cenderung menyalahgunakan wewenang.
Misalnya proses penggantian Rektor IPDN, Prof. Dr. Murtir Jeddawi, S.Sos, SH, MSi dan Direktur IPDN Sumatera Barat, Bustamar MM, yang hanya berdasarkan opini subyektif pihak tertentu.
Hal ini menimbulkan keresahan banyak pihak dan mengganggu soliditas internal kepemimpinan di IPDN.
“Pengangkatan PLT Rektor IPDN Jatinangor pada tanggal 19 Oktober 2019, menjelang pergantian kabinet, terkesan konspiratif, tanpa melalui mekanisme formal yang berlaku dilakukan oleh Sekretaris Jenderal Kementerian Dalam Negeri Hadi Prabowo yang pada bulan April 2020 masuk masa pensiun, mengangkat dirinya sendiri sebagai PLT Rektor IPDN, dengan memutasi Rektor sebelumnya, Prof, DR Murtir Jeddawi SH, S.Sos, Msi,” ujar Ahmad dalam siaran persnya yang diterima PJ.Com Kamis (12/12/2019).
Menurutnya, pengangkatan dirinya sendiri tersebut disinyalir untuk memperpanjang masa jabatan yang bersangkutan sebagai ASN.
Karena April 2020 sudah masuk masa pensiun. Sedangkan jabatan Rektor sendiri bisa diisi ASN dengan usia di atas 60 tahun.
Pencopotan serta penugasan Prof. Dr. Murtir Jeddawi SH, S.Sos, Msi dari Rektor IPDN dan memindahkan yang bersangkutan sebagai Direktur IPDN Kampus Sulawesi Selatan, sudah masuk kategori penjatuhan hukuman disiplin berat terhadap yang bersangkutan tanpa melalui proses yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil.
Demikian juga dengan pengangkatan Direktur IPDN Sumatera Barat, juga melanggar aturan yang berlaku, yaitu PP 53 Tahun 2010 tentang disiplin PNS Pasal 10 angka 9 dikarenakan pejabat tersebut hampir 46 hari absen dari pekerjaan.
Plt Rektor Dr. Hadi Prabowo dinilai menyalahi peraturan yang berlaku yaitu PP No : 53 tahun 2010, dikarenakan, Dr. Tun Haseno, aat menjabat sebagai dosen di IPDN SUMATERA BARAT tidak masuk kerja selama 76 hari, sejak 1 Januari sampai 6 Agsustus 2019, dari akumulatif masa kerja 8 bulan.
Hal ini dapat dibuktikan berdasar absensi fingerprint yang terkoneksi dengan Biro Kepegawaian Kemendagri.
Sedangkan menurut PP No : 53 tahun 2010, tentang disiplin pegawai, tingkat ketidakhadiran lebih dari 46 hari diberhentikan tidak dengan hormat dan tidak atas permintaan sendiri.
“Persoalan lain yang juga menjadi isu saat ini adalah dugaan adanya penyalahgunaan Keuangan Negara yang dilakukan oleh Kabag Umum IPDN Sumatera Barat yakni BISRI, S.Sos, MSi, yang pada saat itu selaku Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) dalam kegiatan pengadaan barang dan jasa tempat tidur Praja di IPDN Kampus Sumatera Barat pada Tahun anggaran 2018 sebesar Rp.300 juta, sampai saat ini belum ada pemeriksaan,” tambahnya.
Dan anehnya, kata dia, pejabat tersebut justru dipromosikan oleh Wakil Rektor II Drs Rizari MBA, MSi dan Kepala Biro Administrasi Hukum dan Kerjasama Drs.Baharudin Pabba, MSi ke Kampus IPDN Pusat di Jatinangor Sumedang sebagai Kepala Bagian Teknologi Pendidikan, kemudian menjadi Kepala Bagian Aset, dan saat ini menjabat sebagai Kepala Bagian Umum.
“Adapun mengenai keputusan dan atau tindakan yang bersifat strategis adalah keputusan dan atau tindakan yang memiliki dampak besar seperti penempatan, perubahan rencana strategis dan rencana kerja pemerintah,” ujarnya.
Merujuk hal tersebut di atas, kata dia, sebagai PLT Rektor, Sekjend Kemendagri tidak memiliki wewenang untuk mengangkat atau memberhentikan Pejabat.
“Tindakan lain yang juga dinilai sebagai abuse of power adalah keabsahan serta kelayakan pengangkatan Rizari menjadi dosen sebelum menjabat WAREK II,” pungkasnya. Rls