PEMERINTAH melalui BAPANAS (Badan Pangan Nasional) menegaskan, perum bulog impor beras 3 juta ton hingga 2023. Salah satunya sebanyak satu juta ton beras akan didatangkan dari India.
Mendag (menteri perdagangan) Zulkifli Hasan menyatakan, terkait impor beras, semata untuk antisipasi dampak El Nino dan Rakyat Indonesia akan mengalami panas mendidih sampai dengan 2025.
Rencana impor beras, 3 juta ton, akankah berdampak negatif pada petani? Impor beras ini dilakukan, sebagai langkah untuk, memenuhi cadangan beras permintaan (CBP) yang bisa menjadi pasokan, untuk menjaga stabilitas stok dan harga beras.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
“Beras kita memang harus ambil (impor) walaupun kadang nggak populer ya, tapi kita harus ambil inisiatif karena nanti kalau El Nino berat keadaannya kita nggak boleh bertaruh beras kurang kan” ujar Zulkifli Hasan (Detik, 15-6-2023).
Pemerintah pun sudah menyepakati harga dengan Pemerintah India. Bahkan jika sewaktu-waktu butuh bisa membelinya karena pemerintah sudah pesan satu juta ton.
Dengan demikian, total impor beras tahun ini adalah tiga juta ton dan sudah terealisasi sebanyak 415 Ribu ton.
Mungkinkah, hal ini karena minimnya perencanaan dan berdampak negatif pada petani? Rencana impor tiga juta ton beras dengan alasan El Nino menunjukkan pemerintah tidak memiliki perencanaan sistematis.
El Nino merupakan fenomena alam yang sudah bisa diprediksi. Dengan demikian, semestinya sejak tahun lalu, pemerintah bisa melakukan upaya meningkatkan stok beras dari dalam negeri.
Pada dasarnya kebijakan impor ini, akan menambah stok beras nasional dalam jangka pendek. Akan tetapi, jika hitungan jangka panjang, bisa merugikan petani.
Apalagi saat ini sedang panen raya di beberapa wilayah Indonesia, seperti di Cirebon, Bali, dan Karawang. Impor beras pada saat panen raya akan mengakibatkan harga gabah jatuh sehingga petani rugi.
Seharusnya pemerintah bisa memberikan insentif, pada petani agar produksi beras lokal meningkat.
Misalnya, dengan memberikan bantuan benih, pupuk, dan sarana produksi pertanian (Corona/Pestisida) lainnya. Bukan justru memperbanyak impor yang pada akhirnya merugikan petani.
Sebagai negara dengan Sistem Pertanian-Pangan Tangguh dan Swasembada Beras (penghargaan IRRI: 2022), Indonesia memiliki penghasilan padi yang cukup besar dari seluruh provinsi.
Direktur jenderal (Dirjen) Institut penelitian padi internasional (IRRI) menilai, Indonesia mencapai swasembada karena mampu memenuhi kebutuhan masyarakat lebih dari 20 persen.
Hal ini ditunjukkan, dari hasil produksi beras nasional dari tahun 2019 konsisten berada di angka 31,3 juta ton sehingga berdasarkan hitungan BPS jumlah stok akhir di bulan April 2022 tertinggi di angka 10,2 juta ton.
Jika kita menelusuri rekam jejak, selama lima tahun terakhir Indonesia melakukan impor beras antara 350 ribu—450 ribu ton setiap tahunnya.
Namun, lonjakan impor hingga jutaan ton, terjadi setahun menjelang tahun politik. Pada 2018, setahun menjelang Pemilu 2019, realisasi impor beras mencapai 2,2 juta ton. Lonjakan ini terjadi lagi tahun ini, setahun menjelang Pemilu 2024.
Terlepas dari tahun politik, nyatanya setiap tahun ratusan ribu ton beras impor membanjiri Indonesia. Hal ini tentu memukul para petani. Akibat anjloknya harga gabah, banyak petani yang enggan menanam padi. Akibatnya, produksi padi pun menurun.
Beras Tetap Mahal
Di sisi lain, meski pemerintah gencar melakukan impor beras, harga beras di Indonesia tetap tergolong tinggi.
Bank Dunia menyebut harga beras di Indonesia merupakan yang termahal di antara negara-negara Asia Tenggara dalam satu dekade terakhir.
Bank Dunia dalam laporan Indonesia Economic Prospect edisi Desember 2022 menuliskan bahwa harga eceran beras Indonesia 28% lebih tinggi dari harga di Filipina dan dua kali lipat harga di Vietnam, Kamboja, Myanmar, dan Thailand. (Katadata, 3-1-2023).
Dengan demikian, tampak impor beras, bukan solusi mahalnya harga beras di Indonesia, bahkan kebijakan impor tidak berpihak pada rakyat, sehingga petani dirugikan karena pendapatan makin ciut.
Sedangkan masyarakat juga tidak diuntungkan oleh impor karena harga beras tetap tinggi dan terus naik dari tahun ke tahun. Sejatinya, kebijakan impor hanya menguntungkan segelintir pihak yang menjadi bagian dari rantai impor beras.
Kebijakan doyan impor menunjukkan adanya liberalisasi pangan. Karena impor dibuka lebar dengan dalih agar stok cukup dan harga beras turun.
Liberalisasi pangan dimulai sejak 1995 ketika Indonesia meratifikasi Perjanjian World Trade Organization (WTO) yang mewajibkan Indonesia meliberalisasi pasar secara bertahap.
Pelaksanaannya dimulai pada 1998 sebagai bagian LoI dengan IMF dengan melakukan pencabutan subsidi pupuk, membuka keran impor beras, dan penerapan tarif impor nol persen.
Liberalisasi berlanjut dengan penandatanganan ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA) pada 1 Januari 2010 yang menjadikan produk pangan Cina membanjiri pasar Indonesia.
Liberalisasi pangan makin parah dengan disahkannya UU Cipta Kerja. Pasal 14 UU 18/2012 tentang Pangan berbunyi bahwa sumber penyediaan pangan berasal dari produksi pangan dalam negeri dan cadangan pangan nasional.
Jika belum mencukupi, pangan dapat dipenuhi dengan impor pangan sesuai dengan kebutuhan.
Pada akhirnya, impor beras besar-besaran yang Indonesia lakukan bukan semata karena adanya fenomena El Nino.
Tetapi memang sudah menjadi bagian dari liberalisasi pangan yang digariskan negara-negara besar melalui lembaga-lembaga dunia seperti PBB, IMF, dan WTO.
Maka, penindasan oleh negara besar terhadap Indonesia ini, merupakan praktik pemilik modal, dalam melakukan usahanya, berusaha untuk meraih keuntungan yang sebesar-besarnya yaitu ketika yang besar memangsa yang kecil.
Untuk bisa lepas dari jerat liberalisasi pangan, Indonesia harus melepaskan diri dari tatanan kapitalisme ini dan menerapkan aturan Islam secara menyeluruh.
Pada hakikatnya, Islam mewajibkan negara untuk menjamin pemenuhan kebutuhan dasar manusia, termasuk pangan.
Pemenuhan ini berdiri di atas asas akidah Islam dan bersandar pada syariat Islam.
Oleh karenanya, pengadaan pangan, tidak memprioritaskan kebebasan individu, sebebas-bebasnya dalam segala aspek, akan tapi sesuai aturan syarak.
Allah Ta’ala melarang umat Islam berada dalam kendali orang kafir. Firman-Nya,
وَلَنْ يَّجْعَلَ اللّٰهُ لِلْكٰفِرِيْنَ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ سَبِيْلًا
“Allah tidak akan memberi jalan kepada orang kafir untuk mengalahkan orang-orang beriman.” (QS An-Nisa: 141).
Berdasarkan ayat ini, Khilafah tidak boleh tergantung kepada impor pangan karena akan menyebabkan umat Islam dikuasai oleh orang kafir. Sebaliknya, Khilafah mewujudkan kedaulatan pangan dengan mengoptimalkan pertanian di dalam negeri.
Langkah-langkah yang ditempuh adalah sebagai berikut:
Pertama, ekstensifikasi pertanian, misalnya dengan menghidupkan tanah mati.
Kedua, intensifikasi pertanian, misalnya dengan penggunaan alat pertanian berteknologi canggih hasil karya dalam negeri.
Ketiga, penelitian untuk menghasilkan bibit unggul dan alat-alat pertanian modern.
Keempat, bantuan pupuk, benih, dan Corona/pestisida lainnya.
Terakhir, memastikan tidak ada gangguan dalam pasar, seperti monopoli, penimbunan, dan penipuan.
Semuanya ini hanya bisa diwujudkan oleh Kepemimpinan Islam karena posisi pemimpin dalam Islam sebagai raa’in (pengurus) dan mas’ul (penanggung jawab) rakyat.
Pemerintah bekerja untuk melayani rakyat, bukan justru membuat rakyat menderita.
Wallahualam