BANDUNG, PelitaJabar – Kental Manis merupakan salah satu penyebab gizi buruk dan stunting pada balita.
Dari hasil observasi Yayasan Abhipraya Insan Cendekia Indonesia (YAICI) ke berbagai daerah, ditemukan lebih 60 persen para ibu masih memberikan Kental Manis kepada sang anak sebagai pengganti susu.
‘Contohnya di Kabupaten Bekasi, dari 192 responden, 156 anak mengkonsumsi Kental Manis. Sementara yang tidak konsumsi 36 persen. Sedangkan di Kota Bekasi, dari 231 responden, 146 anak mengkonsumi Kental Manis. Jadi dari 423 responden, 301 atau 71 persen konsumsi Kental Manis,’ papar Ketua harian YAICI Arif Hidayat kepada awak media di Bandung, Rabu 10 Agustus 2020.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Padahal, Indonesia saat ini dihadapkan dengan berbagai persoalan malnutrisi pada anak.
Survei Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) 2021 menyebutkan prevalensi stunting sebesar 24,4 persen. Angka ini masih jauh dari angka prevalensi yang ditargetkan dalam RPJMN 2020-2024, yakni 14 persen.
Sementara Riskesdas 2018, prevalensi obesitas pada balita sebanyak 3,8 persen dan obesitas usia 18 tahun ke atas sebesar 21,8%. Target angka obesitas di 2024 tetap sama 21,8 persen, upaya diarahkan untuk mempertahankan obesitas tidak naik.
‘Kita Indonesia, sejak jaman Belanda sudah salah persepsi, dimana Kental Manis dianggap minuman bergizi, padahal ini salah. Bahkan kami yang pertama menggebrak SKM pada 2018 lalu. Coba lihat sekarang, sudah tidak ada lagi iklan SKM di media cetak, tv, online dan sebagainya. Bedanya di persepsi, sebagai susu, padahal SKM itu adalah sirup beraroma susu, sangat tinggi kadar gula lebih 50 persen,’ tegas Arif.
Karena itu, pihaknya menggandeng Ikatan Bidan Indonesia (IBI) Jawa-Barat guna meminimalisir dan mengedukasi masyarakat agar para ibu tidak memberikan Kental Manis kepada balitanya.
‘Dari 61 negara yang di survey, Indonesia berada di posisi 60, sangat rendah. Pernah menemukan anak usia 12 thn terkena diabetes karena gula tinggi, karena itu kami menggandeng IBI Jabar, agar bidan yang dulunya menginformasikan kental manis itu susu baik bagi kesehatan, dapat mengedukasi kader kadernya. Ada 29 daerah yang berhasil kami edukasi,’ tambah Arif.
Selain itu, YAICI juga bekerjasama dengan guru-guru paud serta berbagai organisasi terkait lainnya tentang literasi gizi untuk anak.

Sementara Nina Farida Ariani Wakil Ketua IBI Jawa-Barat mengunkapkan, stunting merupakan program yang cukup lama. Dengan peralihan leading sector, baru dua tahun dilimpahkan ke BKKB.
‘Jadi IBI tidak hanya satu sasaran saja, namun 1000 hari kehidupan sejak hamil, bahkan sejak remaja, IBI ikut mensosialisasikan bahaya stunting. Bagaimana generasi yang akan datang? Jika ibu nya baik, sehat, tentunya anak juga baik dan sehat,’ ujar Nina.
Namun milenial saat ini banyak yang salah kaprah, terutama tentang diet.
‘Remaja putri sekarang notebene banyak yang diet, dimana tidak sesuai, karena makanan tidak mengandung gizi seimbang,’ tutur Nina.
Disamping itu, sosilisasi pemberian Air Susu Ibu (ASI) kepada balita juga masih rendah.
‘Berikan ASI sesering mungkin, jika air susunya sedikit, artinya ada jaringan- jaringan yang tersumbat. Karena itulah, selain hubungan emosi antara ibu dan anak, dengan memberikan ASI sesering mungkin, tentunya ada rangsangan, sehingga asi menjadi lancar,’ pungkas Nina.
YAICI sejak lama melakukan edukasi gizi dan memiliki perhatian terhadap persoalan stunting dan gizi buruk. Terlebih, dengan mencuatnya polemik susu kental manis yang membuat BPOM akhirnya mengatur penggunaan produk dengan kandungan gula yang tinggi ini ke dalam PerBPOM No 31 tahun 2018 tentang Label dan Pangan Olahan.
Dalam kebijakan tersebut, terdapat dua pasal yang menjelaskan bahwa kental manis adalah produk yang tidak boleh dijadikan sebagai pengganti ASI dan dikonsumsi oleh anak diawah 12 bulan, serta aturan mengenai label, iklan dan promosinya.***