UNTUK kali kedua, 2500 calan jamaah haji asal kabupaten Bandung kembali menelan kekecewaan. Pemerintah memutuskan penyelenggaraan haji tahun ini kembali ditiadakan. Pemerintah Arab Saudi pun akhirnya mengeluarkan keputusan untuk membatasi jemaah haji tahun 2021 hanya 60.000 orang yang diperuntukkan bagi warga domestik dan ekspatriat.
Kepala Seksi Haji Kementerian Agama Kabupaten Bandung, Isak mengatakan 2.500 calon jamaah haji yang harusnya berangkat pada 2020 lalu, kembali gagal berangkat tahun 2021 ini.
Jika ditotal, jumlah calon jamaah haji asal Kabupaten Bandung yang gagal berangkat berjumlah 5.000 orang yang merupakan kuota tahun 2020 dan 2021. Hal tersebut disampaikan Ishak saat On Air di Radio PRFM 107,5 News Channel pada Senin, 7 Juni 2021.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Isak menambahkan, pendaftaran tetap dibuka dengan asumsi pemberangkatan akan mundur selama 2 tahun dari waktu normal.
“Yang mendaftar pun sudah tahu bahwa keberangkatannya mundur. Karena 2020 tidak berangkat dan 2021 tidak berangkat otomatis mundur 2 tahun,” terangnya.
Artinya, jika antriannya adalah 20 tahun, maka jika mendaftarkan diri pada 2021 baru dapat berangkat 22 tahun kemudian.
Haji : Kewajiban Agung
Allah SWT. telah menetapkan haji sebagai fardhu ‘ain bagi kaum Muslimin yang memenuhi syarat dan berkemampuan. Allah SWT berfirman :
وَلِلَّهِ عَلَى ٱلنَّاسِ حِجُّ ٱلۡبَيۡتِ مَنِ ٱسۡتَطَاعَ إِلَيۡهِ سَبِيلٗاۚ
“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu bagi orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah” (TQS Ali ‘Imran [3]:97).
Nabi SAW bersabda :
“Wahai manusia, Allah SWT telah mewajibkan haji kepada kalian, maka berhajilah. (HR Muslim dari Abu Hurairah).
Bagi setiap Muslim yang memenuhi syarat dan berkemampuan untuk menunaikannya, maka kewajiban haji telah ada di pundaknya.
Lamanya Antrean
Pada faktanya penunaian kewajiban ibadah haji bagi yang sudah mampu, terkendala oleh lamanya antrian keberangkatan haji. Dalam kondisi tanpa wabah pun antrean sudah cukup lama. Ada wilayah di Sulawesi Selatan yang antrean hajinya mencapai 44 tahun. Ditambah dengan adanya wabah Covid-19 menambah panjang daftar antrian.
Persoalan mendasar dari lamanya antrean ini terletak pada pengelolaan haji yang dilakukan oleh negara. Sudahlah kuota terbatas, haji dijadikan komoditas oleh lembaga keuangan untuk memutar uang mereka.
Lembaga perbankan misalnya, berbisnis dana talangan haji. Dengan dana talangan haji ini masyarakat yang belum punya uangpun dengan mudah mendapatkan nomor porsi.
Dampaknya, calon jamaah haji pun meningkat dan kemudian bertemu dengan keterbatasan kuota, terjadilah antrian panjang yang luar biasa lama. Wajar jika dari tahun ke tahun daftar tunggu haji kian panjang hingga mencapai lebih dua puluh tahun.
Dari lamanya antrean ini yang diuntungkan ada dua pihak. Pertama, lembaga keuangan karena uangnya bisa diputar.
Kedua, Pemerintah, karena mendapatkan manfaat berupa bunga atau bagi hasil dari dana yang diputar. Tetapi yang dirugikan adalah calon jamaah haji, karena mereka harus melunasi cicilan, sambil menunggu antrian diatas dua puluh tahun agar bisa berangkat haji.
Dari sini jelaslah bahwa masalah lamanya antrean bermuara pada dua hal. Pertama, lembaga perbankan yang menyediakan dana talangan. Kedua, menjadikan haji sebagai komoditas bisnis. Masalah ini lahir dari penerapan ekonomi kapitalis yang memang melihat sesuatu dari sisi untung rugi. Ibadah haji pun menjadi ceruk bisnis yang bisa dieksploitasi.
Tentu menjadi pertanyaan, apakah mungkin negara bisa menyelesaikan masalah ini?.
Lamanya antrean keberangkatan haji bisa diselesaikan jika paradigma pengelolaan haji yang dilakukan oleh negara benar. Itu tidak lain adalah paradigma Islam yang dibimbing wahyu.
Islam memberikan tanggungjawab kepada negara untuk mengurus pelaksanaan haji dan keperluan jamaah haji. Catatan sejarah menunjukkan betapa besar perhatian dan pelayanan yang diberikan oleh Khalifah kepada jamaah haji. Mereka dilayani sebaik-baiknya sebagai tamu Allah.
Pelayanan itu dilakukan tanpa ada unsur bisnis atau mengambil keuntungan dari pelaksanaan ibadah haji. Semua merupakan kewajiban yang harus dijalankan oleh negara.
Islam melarang lembaga perbankan mempraktekkan riba. Status dana talangan haji yang yang menjadi magnet hingga orang belum mampu memaksakan diri berutang dalam menunaikan kewajiban jelas keliru. Praktek seperti ini harus dihentikan karena riba. Dengan dihentikannya praktek semacam ini, dengan sendirinya calon jamaah haji akan kembali pada kondisi alamiah.
Bagi mereka yang sudah masuk daftar antrian, bisa dikaji kondisinya, apakah benar-benar mampu atau tidak. Bagi yang tidak mampu bisa diberi pilihan, apakah dananya mereka tarik, ataukah tetap digunakan untuk haji.
Secara syar’i, prioritasnya memang demikian. Bagi yang mampu tentu bisa tetap menggunakan dana tersebut untuk menunaikan kewajiban haji.
Jika ini dilakukan maka calon jamaah haji dengan sendirinya bisa berkurang secara alami. Sampai kondisinya benar-benar normal.
Semua itu mungkin, jika penguasanya amanah. Berpikir mengurus dan melayani urusan haji dengan sebaik-baiknya. Bukan berfikir kepentingan dan bisnis. Apalagi menjadikan umat sebagai komoditas bisnis.
Hanya dengan cara inilah, masalah lamanya antrean keberangkatan haji bisa diselesaikan dengan tuntas. ***
foto : harianterbit.com