BANDUNG, PelitaJabar – Setelah mempraperadilkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), membuat pernyataan di Vlog video Youtube, Tersangka kasus mega proyek Meikarta Presiden Direktur PT Lippo Cikarang Tbk. Bartholomeus Toto melayangkan surat kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Salah satu butir isi suratnya, sebagai anak bangsa dirinya meminta dan memohon perlindungan kepada Presiden terhadap kesewenang-wenangan KPK atas penahan sepekan lebih. Bahkan penahanannya diperpanjang oleh KPK selama 40 hari kedepan di Gedung Merah Putih KPK sejak Jumat (6/12/2018).
Usai perpanjangan penahanan di KPK
“Meminta Ketua KPK 2019-2023 Firli Bahuri untuk tidak mengulang gaya kepemimpinan komisioner jilid IV yang dikomandoi Agus Rahardjo. “Toto juga, berharap ke depan kepada pimpinan Pak Firli tak ada lagi rekayasa-rekayasa yang alami Toto saat ini,” jelas Pengacara, Bartholomeus Toto, Supriadi, SH MH, melalui saluran telepon Sabtu (7/12/2019).
Dalam persidangan kasus Meikarta, Kepala Divisi Land and Ackuisition PT Lippo Group Edi Dwi Soesianto menyebut,Toto menerima uang Rp 10,5 Milyar dari Sekretaris Toto, Melda Peni Lestari. Pemberian uang itu, sepengetahuan Toto.
Penyerahan uang dilakukan di helipad PT Lippo Cikarang. Uang itu kemudian diberikan secara bertahap pada Bupati Bekasi Neneng Hasanah Yasin. Atas tuduhan itu,di persidangan, Toto membantah telah memberikan uang itu ke Edi Dwi Soesianto. Artinya, kesaksian pemberian uang Rp 10,5 Milyar itu tidak disertai alat bukti pendukung lain dan itu merupakan pitnah.
“Dengan penahannanya Toto, kami mengajukan praperadilan guna menguji kesaksian Edi Dwi Soesianto. Berkas gugatan sudah diterima Panitera PN Jaksel pada 27 November 2019. Nomor perkaranya, 151/Pid.Pra/2019/PN Jaksel,” ujar Supriadi.
Terkait dengan kasus Meikarta, Kepala Divisi Land and Ackuisition PT Lippo Group Edy Dwi Soesianto, ketika di Telepon ke selulernya, Sabtu pagi (7/12/2019) tidak tersambung alias non aktif.
Surat Permohonan Keadilan
Surat yang dilayangkan kepada Presiden, adalah menyampaikan fakta, bukti dan petunjuk yang saya miliki. Diantaranya selama proses penyidikan Meikarta, ketika status saya sebagai saksi, saya tidak pernah megetahui saya akan dituduh KPK telah memberikan gratifikasi sebesar Rp 10,5 Milyar untuk IPPT.
Lalu dalam penyidikan, KPK tidak melakukan klarifikasi kepada saya secara seksama atas dugaan pemberian uang Rp 10,5 Milyar untuk gratifiasi IPPT tersebut.
Dalam surat tersebut, tertulis baru mendengar tuduhan gratifikasi sebesar Rp 10,5 Milyar yang ditujukan kepada saya tersebut dalam sidang Billy Sindoro/ Neneng Hasanah Yasin, dimana Edy Dwi Susieanto (EDS) staf PT Lippo Cikarang, Tbk bersaksi bahwa saya telah menyetujui dan memberikan uang sebesar Rp 10,5 Milyar untuk penerbitan IPP Meikarta.
Lebih jauh EDS membuat Narasi bahwa uang sebesar Rp 10,5 Milyar tersebut diterima secara tunai dari Lippo Karawaci melalui Melda Peni Lestari, Sekretaris direksi PT Lippo Cikarang Tbk, dimasa itu.
Sementara Melda Peni Lestari dalam sidang telah mebantah pernah memberikan uang tunai Rp 10 Milyar kepada EDS. Namun Melda Peni Lestara malah diancam telah bersaksi palsu.
Secara pribadi dan terpisah EDS menyampaikan beberapa hal seperti adanya bukti catatan elektronik percakapan dengan EDS. EDS mengaku ditekan oleh Ardian, penyidik, untuk mengakui saya telah menyetujui dan memberikan uang gratifikasi RP 10,5 Milyar.
EDS menyatakan memang benar selama mengurus perizinan untuk PT Lippo Cikarang, Tbk selalu harus memberikan gratifikasi, namun tidak pernah terlibat dan/atau ambil bagian dalam gratifikasi Meikarta yang dilakukan oleh Billy Sindoro, dkk. ***