BERBICARA tentang peristiwa sejarah yang telah berlangsung 72 tahun sebagaimana Serangan Umum (SU) 1 Maret 1949; tidak jarang membuat banyak diantara kita bertanya-tanya: Ada apanya… ? Apa ada pentingnya…? Dan kiranya masih banyak pertanyaan-pertanyaan lainnya.
Hal ini sebagai bukti bahwa betapa kuatnya unsur subyektivitas dalam ranah “sejarah”, dan betapa beratnya para sejarawan dalam menuliskan sejarah secara obyektif yang transparan karena diolah dengan pendekatan interdisipliner (Sartono Kartodirdjo, 1992)
SU 1 Maret 1949 adalah peristiwa sejarah yang terkait TERBAHARUKANNYA KEMERDEKAAN INDONESIA PASKA 17 AGUSTUS 1945, sebagai konsekwensi untuk mempertahankan dan mengawal Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dari kekuatan dan intervensi asing yang akan menjajah bangsa Indonesia kembali (Bakarudin, 2010).
Bagi bangsa Indonesia, masyarakat Yogyakarta, dan TNI, peristiwa SU 1 Maret 1949 sangatlah penting dalam ikut andil dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Karena dari pembelajaran peristiwa SU 1 Maret 1949 tersebut, banyak hikmah yang dapat dipetik.
Diantaranya: terbaharukannya di bidang politik, kepemimpinan, pentingnya persatuan dan kesatuan, strategi dan taktik militer, kemanunggalan TNI – Rakyat, keberanian, kehormatan dan kebanggaan sebagai bangsa yang telah merdeka. Seakan sebagai implementasi keluhuran bangsa Indonesia melawan keserakahan Belanda yang ingin kembali menjajah Indonesia.
Jalannya Serangan Umum 1 Maret 1949
Direbutnya ibukota RI Yogyakarta beserta ditawannya para pucuk pimpinan Republik oleh Belanda pada tanggal 19 Desember 1948, bukan berarti Negara Republik Indonesia beserta Angkatan Bersenjatanya telah hancur.
Pelanggaran terhadap Perjanjian Linggarjati dan Renville tanggal 17 Januari 1948 oleh Belanda cepat atau lambat pasti akan terjadi, oleh sikap jumawa, tidak puas, dan ingkar Belanda. Olehnya itu pimpinan TNI jauh-jauh hari sudah mengantisipasinya dengan memprediksi secermat mungkin akan apa yang akan dilaksanakan dikemudian hari (Rumpun Diponegoro, 1977)
Konsekwensi dari perjajian Renville paska Agresi militer Belanda I, salah satu diantaranya Pasukan TNI harus hijrah ke daerah RI, kemudian dibatasi dengan garis statusquo Van Mook. Dalam kondisi RI yang wilayahnya semakin dipersempit, pasukan menumpuk yang ditindaklanjuti dengan Re-Ra; PKI di Madiun pimpinan Muso memberontak pada tanggal 28 September 1948.
Berkat kekompakan dan ketulusan dalam perjuangan rakyat Indonesia bersama TNI, maka dalam waktu singkat pemberontakan PKI tersebut dapat dihancurkan. Melihat kelemahan ini sudah diperkirakan bahwa cepat atau lambat Belanda pasti akan datang untuk menghancurkan RI.
Menghadapi situasi yang berkembang saat itu ditambah dari pengalaman dalam menghadapi Belanda selama ini maka pucuk pimpinan TNI telah menyusun Siasat Nomor 1/48 tanggal 12 Juni 1948, yang merupakan konsep pertahanan rakyat semesta, sekaligus merupakan kosep strategi militer Republik Indonesia.
Siasat ini kemudian diterbitkan pada tanggal 9 Nopember 1948 di Yogyakarta, terkenal juga dengan nama Instruksi Panglima Besar Nomor 1, yang lebih dikenal lagi dengan nama Perintah Siasat Nomor 1. Isinya adalah pokok-pokok yang harus dilaksanakan pada suatu saat apabila Belanda kembali melancarkan agresi militernya.
Adapun isi Perintah Siasat Nomor 1 tersebut adalah sebagai berikut:
- Tidak akan melakukan pertahanan linier.
- Tugas memperlambat kemajuan serbuan musuh serta bumi hangus total.
- Tugas membentuk kantong di setiap distrik onder distrik militer yang mempunyai pemerintahan gerilya (Wehr Kreise) dan mempunyai pusat di beberapa daerah pegunungan.
- Tugas pasukan yang berasal dari “daerah federal” untuk menyusup kembali ke daerah asalnya (Wingate) dan membentuk kantong-kantong sehingga Pulau Jawa menjadi satu medan gerilya yang besar.
Secara garis besar serangan Umum 1 Maret 1949 dibawah pimpinan Letkol Soeharto, yang tentunya tidak lepas dari rantai komando kemiliteran (Kolonel Bambang, Kolonel A.H. Nasution dan Panglima Besar Jenderal Sudirman sesuai dengan kapasitasnya masing-masing)., dan koordinasi dengan pihak lain (diantaranya: Sinuwun HB IX sesuai dengan kapasitasnya sebagai seorang raja kepala daerah Yogyakarta dan pejabat tinggi pemerintah RI saat itu).
Semua lapisan masyarakat dan militer memaksimalkan peran masing-masing sehingga mampu meraih kesuksesan yang luar biasa dampaknya. Diantaranya:
Pertama, Aspek Politis.
Dampak politik luar negeri bahwa gebrakan Enam Jam merupakan syarat utama sebagai gebrakan internasional untuk entry point terhadap keberadaan RI sebagai new nation yang berdaulat setingkat dengan Negara-negara merdeka lainnya (Ali Sastroamijoyo,1987).
Dampak politik dalam negeri bahwa Negara-Negara Boneka bentukan Belanda akhirnya berguguran, akhirnya kembali bersatu dan menyamakan langkah untuk menghadapi Belanda secara bersama.
Akhirnya konflik RI – Belanda berakhir di perundingan dengan disetujuinya Konferensi Meja Bundar, meski dengan tekanan RI dalam Statuud Uni dengan Belanda, dan diarahkan ke bentuk RIS, dan masih digantungnya masalah Irian Barat. RI koperatif dapat mengikutinya, namun dalam waktu tujuh bulan bangsa ini kembali ke pemikiran awal yaitu tetap sebagai Negara kesatuan (Suhartono. W. Pranoto, 2002).
Kedua, Aspek kepemimpinan.
Keberhasilan gebrakan Enam Jam, menunjukkan bahwa kepemimpinan di antara pucuk pimpinan dari berbagai strata sesuai rantai komando dapat berjalan dengan bagus, tepat dan cepat. Masing-masing secara proporsional dapat berbuat siapa berbuat apa sesuai dengan kapabilitas dan tanggungjawab serta kewenangannya. Diantara pucuk pimpinan tidak ada yang mengklaim sebagai pemrakarsa secara individu. Munculnya klaim siapa pemrakarsanya ketika bersinggungan dengan kepentingan, baik pribadi atau kelompok.
Ketiga, Aspek pentingnya persatuan dan kesatuan.
Enam Jam dapat terealisasi dari berkah terwujudnya persatuan dan kesatuan. Untuk kepentingan bangsa dan Negara semua bisa menanggalkan kepentingan individunya. Bahkan para pemimpin sipil dapat demikian nurutnya dipimpin oleh para pimpinan MBKD, GMI, WK, SWK sewaktu Negara dalam darurat militer waktu itu semua dimiliterisir.
Keempat, Aspek strategi dan taktik militer.
Dengan berhasilnya TNI menduduki ibukota selama 6 jam, dapat menumbuhkan kembali keyakinan perjuangan dan kepercayaan akan kemanpuan TNI untuk memenangkan perang melawan Belanda. Inisiatif serangan beralih dari Belanda kepada TNI. Terwujudlah TNI yang profesional, bertanggungjawab dan tidak mengenal menyerah.
Kelima, Aspek kemanunggalan TNI – Rakyat.
Keberhasilan TNI dalam Serangan Umum dengan menduduki 6 jam tidak mungkin bisa terwujud tanpa dukungan rakyat. Rakyat senantiasa mendukung gerakan TNI, indikasinya kerahasiaan gerakan TNI tidak bocor, dukungan makan dari dapur umum, anggota gerilya dapat menumpang istirahat di rumah-rumah penduduk, tidak ada pelanggaran diantara TNI dan rakyat, dan sebagainya.Mereka manunggal. Dapat diibatkan kemanunggalan TNI – Rakyat adalah ibarat Ikan dengan airnya; Gula dengan manisnya; Garam dengan asinnya.
Keenam, Aspek keberanian, kehormatan dan kebanggaan.
TNI – Rakyat rasanya menjadi mongkok (tersanjung) dan memiliki pride sebagai bangsa. Keberhasilan 6 jam, penuh resiko. Mereka dapat berhasil, karena mereka berani bertindak dengan penuh tanggungjawab. Semua ini dapat dilakukan demi membela kehormatan sebagai bangsa yang terus dilecehkan oleh Belanda. Akhirnya dapat menjadi kebanggaan bahwa kemerdekaan yang kita raih adalah sebuah perjuangan dari bangsa sendiri bukan pemberian Belanda.
Pelajaran yang bisa dipetik
Enam Jam di Yogyakarta tanggal 1 Maret 1949 merupakan peristiwa sejarah, yang sarat makna dan pelajaran bagi bangsa dalam menghadapi kemelut dalam kehdupan berbangsa dan bernegara. Peristiwa ini dapat membawa perubahan dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia, seakan kemerdekaan Indonesia menjadi terbaharukan.
Untuk menghadapi kondisi saat ini akibat cengkeraman kekuatan asing yang sangat dalam yang seakan-akan merontokkan sendi-sendi kemerdekaan., maka seyogyanya dalam semua bidang kehidupan kita bangkitkan semangat perjuangan, saling bahu-membahu, kita satukan komando dan kekuatan untuk menghadapi permasalahan yang kita hadapi sebagaimana saat ini.Sesuai dengan ungkapan kata hikamah, “Dalam persatuan terdapat rahmat, dan dalam perpecahan terdapat azab”, Rukun agawe Santosa, Crah agawe bubrah.
Semoga bermanfaat.
Klaten , 28 Februari 2021. (Penulis Sejarawan, pemerhati ilmu Tanah Jawa)