Data Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Bandung, sepanjang Januari-Juli 2022 terdapat 3.572 kasus DBD di Kota Bandung, 7 orang di antaranya mengalami kematian. Rata-rata kasus kematian ini menyerang anak berusia 1-9 tahun.
Menurut Pelaksana tugas (Plt) Subkoordinator Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular, dr. Intan Annisa Fatmawaty, kini tren kasusnya semakin menurun dibandingkan bulan Januari.
‘Data yang kita lihat di Januari ini cukup tinggi. Biasanya kasus DBD muncul musim penghujan atau pancaroba, makanya meningkat di akhir tahun sampai awal tahun,’ ujar Intan Kamis, 21 Juli 2022.
Ia mengakui, sepanjang 2022 ini wilayah yang memiliki kasus paling tinggi di Kota Bandung terdapat di Kecamatan Buahbatu.
Secara global, faktor yang mengakibatkan sebuah daerah rawan banyak kejadian DBD biasanya terjadi di wilayah padat penduduk.
‘Selain itu, faktor lainnya bisa jadi pelaksanaan dari kegiatan pemberantasan sarang nyamuknya (PSN) belum berjalan optimal,’ ucapnya.
PSN ini terdiri dari beberapa upaya, seperti 3 M: menguras, menutup, dan memanfaatkan barang daur ulang. Kemudian, G1r1j (gerakan satu rumah, satu jumantik), diharapkan setiap rumah ada anggota yang bertugas menjadi pemantau jentik.
Lalu, perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) juga harus selalu digalakkan.
‘Bisa juga karena cakupan angka bebas jentiknya belum mencapai di atas 95 persen. Jadi, wilayah itu masih banyak ditemukan jentik,’ jelasnya.
Untuk terus mengupayakan pemberantasan DBD, Dinkes rutin mengedukasi masyarakat melalui puskesmas sebagai ujung tombak.
Para petugas puskesmas rutin menyosialisasikan untuk masyarakat melakukan kegiatan PSN di seluruh wilayah, termasuk menjaga kesehatan lingkungannya.
‘Baiknya juga tiap kecamatan punya kader jemantik, sehingga nanti dia keliling ke lingkungan penduduk untuk membantu petugas puskesmas melakukan pemeriksaan jentik nyamuk,’ tuturnya.
Bagi warga Bandung yang telah terindikasi gejala DBD, pada saat demam tinggi, bisa diberikan obat penurun panas.
Saat dalam kurun waktu dua hari kondisinya mengalami perburukan, maka segera bawa ke dokter rumah sakit setempat.
‘Jika ternyata hasil diagnosanya DBD, warga diharapkan melapor ke RW atau puskesmas setempat sambil menyertakan surat keterangan dari dokter rumah sakit. Kenapa harus ke dokter rumah sakit? Karena memang perlu ada pemeriksaan lab dulu untuk mendiagnosa DBD,’ paparnya.
Namun, ada beberapa kejadian di masyarakat saat muncul kasus demam di lingkungannya, mereka langsung minta untuk fogging. Padahal, belum tentu itu kasus DBD.
Sebab, ada persyaratan yang harus dipenuhi sebelum mengajukan fogging di lingkungannya. Fogging hanya efektif jika dilakukan pada lokasi dengan jumlah kasus lebih dari satu orang yang terkena DBD atau lebih dari tiga orang tersangka di lingkungan tersebut.
‘Lalu, kalau angka jentik dari rumah-rumah yang diperiksa ternyata lebih dari 5 persen mengandung jentik, maka itu menjadi target dari pelaksanaan fogging dari puskesmas,’ katanya.
Biasanya, jika tidak ditemukan jentik atau kasus DBD di lingkungan tersebut, pihak puskesmas akan berkoordinasi dengan puskesmas yang terdapat di wilayah kerja atau sekolah para pasien.
Sebab, bisa terjadi kemungkinan kasus muncul dari tempat kerja atau sekolah dari pengidap DBD. Maka, tempat yang harusnya difogging bukan lingkungan rumah, melainkan tempat kerja atau sekolahnya.
‘Fogging juga jangan dilakukan terlalu sering, baiknya berjarak seminggu lebih. Sebab fogging mengandung zat kimia yang justru berbahaya kalau sering dihirup oleh masyarakat,’ tutur Intan.
Maka dari itu, Intan menegaskan, pemberantasan DBD paling efektif sebenarnya bukan dari fogging, melainkan penerapan PHBS dan PSN. Misalnya jangan ada pakaian habis pakai menggantung banyak di pintu karena bisa menjadi sarang nyamuk.
Kemudian, harus rutin melakukan PSN dengan kegiatan 3M plus, seperti membantu memeriksa tempat penampungan air di rumah masing-masing apakah ada jentik nyamuk atau tidak. ***
foto : www.depoktren.com