Pemerintah Provinsi Jawa Barat membeli gorden seharga Rp 1 miliar.
Hal itu tertuang pada laman Sistem Informasi Rencana Umum Pengadaan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (SIRUP LKPP).
Alasan penggantian gorden karena kondisinya sudah lusuh dan sobek. Gorden yang diganti sudah berusia 20 tahun atau pada masa kepemimpinan Gubernur Jabar Raden Nana Nuriana.
Tentu, keputusan ini menuai pro kontra, karena dilakukan pada saat kondisi masih belum baik-baik saja.
Meskipun gorden itu untuk tempat publik, dengan alasan sering dipakai untuk acara kemasyarakatan dan menerima tamu dalam dan luar negeri, tampaknya alasan itu tidak dapat diterima.
Padahal, jumlah penduduk miskin di Jawa Barat masih tinggi. Per Maret 2022 tercatat sebanyak 4,07 juta orang atau sekitar 8,06 persen dari populasi penduduk Jawa Barat sekitar 46 juta orang. (INews jabar.id, 22/7/2022)
Jika dimisalkan kehidupan rumah tangga saat kondisi sulit, untuk makan sulit, sekolah sulit, mendapatkan pekerjaan sulit, boro-boro memikirkan untuk ganti gorden meskipun gorden sudah lusuh dan lama belum diganti.
Kebijakan ini, semakin mempertontonkan ketidakpedulian penguasa terhadap rakyatnya. Inilah cerminan sistem kapitalisme yang kurang empati kepada rakyat.
Jika menilik kepada Islam, sebagai agama yang kaffah (menyeluruh), Islam memiliki kekhasan dalam mengatur APBN.
Pemasukan dan pendanaan APBN memiliki konsep baku. Terkait pendanaan terdapat 6 pos yaitu;
Pertama, khusus untuk harta di Kas Baitul Mal yang berasal dari zakat. Pos pengeluarannya wajib hanya bagi delapan ashnaf sebagaimana ditunjukkan dalam al-Quran surat At-Taubah ayat 60
Kedua, pos pembelanjaan wajib dan bersifat tetap dari Baitul Mal untuk keperluan jihad dan menutup kebutuhan orang-orang fakir dan miskin.
Ketiga, pos pembelanjaan wajib dan bersifat tetap dari Baitul Mal untuk memberikan gaji (kompensasi) atas jasa yang telah dicurahkan untuk kepentingan negara, yaitu pegawai negeri, hakim, tentara, dsb.
Kelima, pos pembelanjaan untuk pembangunan sarana kemaslahatan rakyat yang bersifat wajib, dalam arti, jika sarana tersebut tidak ada, maka akan menimbulkan kemadaratan bagi rakyat.
Contohnya adalah pembangunan jalan, jembatan, sekolah, rumah sakit, masjid, air bersih dsb.
Kelima, pos pembelanjaan wajib yang bersifat kondisional, yaitu untuk menanggulangi musibah atau bencana alam yang menimpa rakyat. Contohnya adalah terjadinya paceklik, gempa bumi, banjir, angin taufan, tanah longsor dsb.
Keenam, pos pembelanjaan untuk pembangunan sarana kemaslahatan rakyat yang bersifat tidak wajib, dalam arti, sarana tersebut hanya penambahan dari sarana-sarana yang sudah ada. Jika sarana tambahan tersebut tidak ada, maka tidak akan menimbulkan kemudaratan bagi rakyatnya.
Dengan konsep ini, pejabat negara tidak dapat melakukan penyelewengan.
Selain itu, pembelanjaan akan dilaksanakan secara prioritas, tidak akan digunakan untuk sesuatu yang tidak penting atau tidak terkait kepentingan rakyat.
Sebagai penutup, terdapat kisah yang penuh hikmah terkait kepedulian pemimpin kepada rakyat.
Dalam kitab Al-Amwal karangan Abu Ubaid, diberitahukan, Khalifah Umar bin al-Khaththab berkata kepada pegawainya yang telah membagikan sedekah,
‘Jika kamu telah memberi, cukupkanlah’
Selanjutnya beliau berkata lagi,
‘Berilah mereka itu sedekah berulang berulang meski salah seorang di antara mereka memiliki seratus unta’
Beliau menerapkan politik ekonomi yang memberikan jaminan pemenuhan kebutuhan primer rakyat.
Dia juga mengawinkan kaum Muslim yang tidak mampu, membayar utang-utang mereka dan memberikan biaya kepada para petani agar menanami tanahnya.
Demikianlah, gambaran kehidupan dalam Islam.
Keseriusan dan empati pemimpin dalam melayani rakyat dan konsep baku dalam APBN menjadikan kehidupan menjadi sejahtera dan penuh berkah.
Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan. (QS Al-A’raf: 96) ***