MENIKMATI indahnya alam, hijaunya hutan, gunung atau pantai bisa menghilangkan kepenatan setelah bergelut dengan berbagai persoalan hidup. Melepas lelah ke berbagai destinasi wisata menjadi bagian dari kebutuhan manusia.
Saat memandang indahnya alam, fikiran menjadi fresh, sekaligus memupuk kesadaran tentang keagungan Pencipta alam semesta.
Ini akan menjadi sandaran kokoh bagi manusia dalam mengarungi hidup saat menghadapi berbagai masalah. Bahwa ada Dzat Yang Maha Agung Yang akan membersamainya dalam hidup ini, dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi.
Lain cerita jika obyek pariwisata bertemu dengan kepentingan pengusaha. Daya tarik tempat wisata dipandang sebagai peluang usaha yang menggiurkan. Tak heran pengembangan tempat wisata menjadi trend global yang diaruskan ke seluruh dunia.
UNDP (Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa) memasukkan pariwisata sebagai bagian dari penyelesaian masalah pembangunan melalui ekonomi kreatif dalam pariwisata. Tujuan pokoknya meningkatkan dan membangun pariwisata sebagai kontributor bagi pembangunan ekonomi, saling pengertian internasional, perdamaian, kemakmuran universal, HAM dan kebebasan dasar untuk semua tanpa memandang perbedaan ras, kelamin, bahasa dan agama.
Di Indonesia, pembangunan pariwisata juga harus diutamakan. Di tengah besarnya tekanan ekonomi global pariwisata dianggap sebagai sumber kemakmuran, meningkatkan pendapatan masyarakat dan memperluas lapangan pekerjaan. Seolah pariwisata menjadi solusi pembangunan.
Pariwisata menjadi sektor ekonomi yang menjamin pemasukan jangka panjang bahkan permanen. Untuk itu semua pihak didorong untuk mensukseskan program-program demi menggenjot pembangunan pariwisata.
PT. Jasa dan Kepariwisataan Jabar misalnya melakukan pengembangan dan pengelolaan kawasan wisata Hejo Forest Eco Tourism, Ciwedey, Kabupaten Bandung.
Direktur Utama Jaswita Jabar, Deni Nurrdyana Hadimin mengatakan, pihaknya akan melakukan pengembangan dengan menggaet PT. Bina Wana Lestari.
“Penandatanganan kerjasama ini merupakan salah satu upaya Jaswita Jabar untuk meningkatkan perfoma usaha, khususnya di bidang pawiwisata, karena Hejo Forest memang memiliki potensi yang sangat besar sebagai salah satu destinasi wisata di Jawa Barat” ucapnya.
Dalam tataran praktek, tak bisa dipungkiri, dibalik jargon pariwisata ‘menggairahkan bisnis lokal’, justru pemiskinan terjadi secara masif di sejumlah lokasi wisata.
Semisal penduduk lokal yang awalnya adalah pemilik tanah, terpaksa harus menjual murah tanahnya karena tekanan pihak yang lebih kuat, atau karena tak sanggup bersaing dengan pendatang yang lebih mengerti tentang bisnis wisata. Akibatnya para mantan ‘tuan tanah’ ini hanya puas beralih profesi ‘buruh berseragam’ ataupun pekerja non formal.
Di sisi lain, kontak antara penduduk lokal dan turis asing menyebabkan inklusi sosial yang berujung pada transfer nilai. Kita bisa mengindra, masyarakat yang tinggal di kawasan wisata lama-lama terkikis pemahaman agamanya dan kian ‘ramah’ terhadap nilai liberal. Perubahan gaya hidup, bahasa, cara berpakaian, hingga toleran terhadap prilaku wisatawan. Gegar budaya, berujung pada imitasi prilaku asing.
Memang, bila wisatawan datang maka beragam aktifitas ekonomi akan terdongkrak dari wisatawan yang akan makan,berbelanja souvenir, menginap, menyewa kendaraan, menyewa jasa tukang pijat atau sekedar membawakan kopor di tempat itu. Namun, bukan hal yang baru bila wisatawan juga menginginkan tersedianya tempat maksiat untuk berzina, mengkonsumsi khamr dst. Jika demikian kemaksiatan akan bertumpuk terjadi di daerah wisata.
Lagi pula hotel sebagai tempat menginap, restaurant sebagai tempat makan, biasanya dibangun oleh para pemilik modal kuat, bukan penduduk setempat. Sebagian besar keuntungannya tentu diraup oleh pemilik modal kuat, bukan penduduk setempat. Penduduk setempat rata-rata hanya sebagai pekerja kasar.
Harapan pariwisata sebagai sumber kemakmuran, menjadi ilusi. Yang terjadi justru liberalisasi ekonomi, liberalisasi budaya, liberalisasi prilaku yang merusak tatanan kehidupan.
Inilah buah dari penerapan sistem ekonomi kapitalis yang mengeksploitasi apapun termasuk pariwisata hanya demi keuntungan materi.
Hal ini tidak akan terjadi jika negara memilih sistem yang benar dalam pengelolaan negara. Sistem yang datang dari Dzat yang menciptakan alam semesta, yaitu sistem Islam.
Dalam peradaban Islam, pariwisata dikelola oleh negara dengan tujuan dakwah dan propaganda. Bertujuan untuk membangun dan mengokohkan keimanan hamba-Nya. Menemukan cinta sejatinya kepada Rabb-Nya, ketika merasa takjub mengamati keindahan ciptaan-Nya.
Sebagai agama dakwah, Islam tidak akan membiarkan terbukanya pintu kemaksiatan di dalam negara. Termasuk sektor pariwisata.
Keindahan alam yang dijadikan tempat pariwisata seperti pantai, pegunungan, air terjun, hutan dan yang lainnya, akan dijadikan sarana dalam menyebarkan Islam.
Bagi wisatawan muslim, setelah mereka disuguhkan keelokan seluruh ciptaan Allah Swt., semakin memperkokoh keimanannya. Begitu pun bagi wisatawan nonmuslim, yang niat awalnya ingin menikmati keindahan alam, akan disuguhkan pula ajaran Islam.
Semangat dakwah yang menjadi spirit Interaksi penduduk setempat dengan para turis akan mewarnai para turis dengan budaya Islam. Begitu pun pemandu wisata yang dipersiapkan, ditugaskan untuk menyebarkan pemahaman Islam. Terjadilah transfer pemikiran di sana.
Sang turis, bukan hanya menikmati keindahan alamnya saja, namun juga beserta penjelasan tentang alam raya dan hakikat kehidupan seorang hamba. Jadilah wisatawan mengenal akidah Islam dan khasanah nya.
Begitu pun cagar budaya yang ada akan dimanfaatkan untuk menyampaikan bukti-bukti sejarah autentik perihal kejayaan Islam. Agar seseorang yang masih ragu akan kejayaan Islam, teryakinkan dengan benda-benda yang tertinggal dari sejarah. Misalnya, musium alquran dari zaman sahabat hingga kini. Akan dimanfaatkan negara sebagai wisata edukasi.
Pariwisata dalam pandangan Islam, meski bisa menjadi salah satu sumber devisa, tetapi tidak akan dijadikan sebagai sumber perekonomian negara. Selain karena tujuan utama dikembangkannya pariwisata adalah sebagai sarana dakwah, negara telah memiliki sumber perekonomian yang bersifat tetap. Yaitu dari pertanian, perdagangan, industri dan jasa. Keempat sumber inilah yang akan menjadi tulang punggung negara dalam membiayai perekonomian.
Pengelolaan pariwisata seperti inilah yang akan mengundang keberkahan dan terjauh dari murka Allah. Pertanyaannya, beranikah kita dan para pemimpin negeri ini mewujudkan revolusi total terhadap paradigma dan pengelolaan pariwisata?
Wallahu a’lam bi showab