BANDUNG, PelitaJabar – Simpang siurnya informasi yang diterima, membuat bingung sebagian masyarakat. Karena itu, ada baiknya mendengar secara langsung, bagaimana suatu perguruan tinggi menjalankan kegiatan proses belajar mengajar.
Terkait polemik wisuda Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT) AT-Taqwa dan STIT Muhammad Mardiyana di hotel horizon Bandung, Jawa Barat belum lama ini, kedua lembaga pendidikan yang diduga melakukan pelanggaran, berikut penjelasannya.
Wakil Koordinatorat Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Swasta (KOPERTAIS) wilayah 2 Jawa Barat, Profesor Aan Hasanah menjelaskan, penggabungan wisuda antara STIT At-Taqwa dan STIT Muhammad Mardiyana, karena dalam naungan satu Yayasan, dan dilaksanakan diluar domisili kopertais. Hal ini dilandasi alasan alih domisili dan alih kelola, dengan tetap mempertimbangkan efektifitas dan efesiensi anggaran.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Dimana para peserta wisudanya adalah mereka yang secara akademik telah dinyatakan lulus studi.
“Menurut pemahaman kami, wisuda ini bukan merupakan kewajiban akademik untuk diikuti oleh mahasiswa, karena acara ini hanya ceremonial, mahasiwa yang tidak mengikuti wisuda sekalipun ketika sudah menyelesaikan studinya, tetap berhak mendapat ijazah,” beber Prof. Aan Rabu (10/07/2024).
Sementara untuk biaya wisuda yang dirilis secara resmi oleh kampus adalah Rp 1.750.000,- (surat terlampir). Namun diberitakan, terdapat pungutan biaya wisuda sebesar 3 jt, itu diluar pengetahuan panitia wisuda dan mungkin dilakukan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab.
Terkait ijin baru rekomendasi dari kopertais, alih kelola dari PT ke yayasan baru menerima mahasiswa baru langsung wisuda dengan beda Kopertais, Prof Aan mengungkapkan, Proses awal alih kelola sudah dilakukan melalui penerbitan akta alih kelola di notaris No. Akta Notaris STIT At Taqwa dan Akta Notaris STIT Muhammad Mardiyana.
“Jadi umpamanya begini, ada mahasiswa yang baru enam bulan sudah ikut wisuda, itu seperti ada yang disampaikan memang alih kelola itu termasuk yang STIT Mardiyana baru enam bulan. Yang STIT AT-TAQWA mungkin baru satu tahun ya, kurang lebih,” jelasnya.
“Itu yang alih kelola itu semuanya, mahasiswa, dosennya, hanya infrastruktur yang enggak sehingga ketika masuk ke kampus ini, itu ada mahasiswa yang semester delapan, ada yang semester enam. Ketika langsung sidang karena memang (sudah) semester delapan. Ada yang di STIT AT-TAQWA sudah lulus tapi belum wisuda, diwisudakan oleh kita. Jadi sesuai data,” tambahnya.
Menurutnya, dokumen tersebut menjadi dasar pengajuan alih kelola dan alih domisili ke Diktis. Dari Diktis sudah melakukan AL ke kampus.
Selain itu, dirinya mengklaim terkait beberapa wisudawan tidak tercantum di Forum Layanan Pendidikan Tinggi (Forlap Dikti) yang merupakan data informasi mengenai perguruan tinggi, dosen, dan mahasiswa aktif dan tercantum didalam data tersebut dikarenakan proses sinkronisasi data.
“Mungkin ada sebagian kecil yang sedang proses sinkronissasi data pd pd dikti, selanjutnya akan segera diselesaikan masalah Administrasinya,” ujarnya lagi.
Soal peran Dr, Cecep tercantum sebagai Dosen UIN sekaligus pemilik dan Pembina yayasan AT-Taqwa apa perlu ijin sebagai PNS. Prof Aan menyebutkan, dalam peraturan pemerintah (PP) Disiplin PNS tidak ada larangan secara tegas bagi PNS yang ingin menjadi pengurus yayasan. Bahkan tidak ada larangan bagi PNS untuk menjadi pengurus yayasan di dalam UU ASN.
“Dalam UU 16/2001 beserta perubahannya tidak ada aturan yang secara khusus menyatakan bahwa seorang Pegawai Negeri Sipil (“PNS”) tidak dapat menjadi pengurus yayasan. Mengenai PNS diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (“UU ASN”), ” pungkas Prof Aan.
Disinggung sangsi, jika STIT AT-TAQWA dan STIT- Muhammad Mardiyana melanggar aturan, Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Swasta (PTKIS) yang melanggar ketentuan, Kopertais akan melakukan Pengawasan dan Pembinaan sesuai dengan peraturan Perundang-undangan. ***