GARUT- PelitaJabar – Struktur organisasi pemerintahan yang gemuk namun minim efisiensi kembali menjadi sorotan.
Di Kabupaten Garut, jumlah satuan kerja perangkat daerah (SKPD) yang mencapai 33, dinilai terlalu besar dan belum sepenuhnya optimal.
Pengamat kebijakan publik, Dudi Supriyadi, menilai kondisi ini justru berisiko memperlambat kinerja birokrasi dan membuat belanja aparatur membengkak.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
“Struktur birokrasi di Garut perlu dirombak. Bukan sekadar kurangi jumlah, tapi merancang struktur yang ramping, tapi kaya fungsi. Efisien dalam anggaran, efektif dalam kinerja,” ujar Dudi saat ditemui dalam diskusi publik bertema “Evaluasi Kinerja Birokrasi Daerah”, akhir pekan lalu.
Dia menyebut perampingan ini bisa dilakukan melalui perubahan SOTK (Satuan Organisasi dan Tata Kerja) dengan merevisi Peraturan Daerah (Perda) yang mengatur struktur organisasi perangkat daerah Garut.
“Contohnya pemisahan antara Dinas Ketahanan Pangan, Dinas Pertanian, dan Dinas Peternakan. Tiga dinas ini seharusnya disatukan karena memiliki korelasi fungsi yang sangat erat,” kata Dudi.
Jangan dipisahkan. Ketahanan pangan tak bisa berdiri tanpa pertanian dan peternakan.
“Kalau digabung, programnya akan lebih terintegrasi, koordinasinya kuat, dan yang pasti anggaran jadi lebih efisien,” tegasnya.
Dasar hukum untuk melakukan perubahan SOTK ini sudah sangat jelas. Pemerintah daerah memiliki ruang yang sah berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, serta PP Nomor 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah yang kemudian diubah menjadi PP Nomor 72 Tahun 2019.
Selain itu, acuan teknis juga sudah tersedia melalui PermenPAN-RB Nomor 25 Tahun 2021 tentang Penyusunan Peta Jabatan dan Analisis Beban Kerja.
Semua regulasi tersebut memberikan landasan hukum kuat bagi daerah untuk menata kembali struktur organisasinya agar lebih adaptif dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat.
Namun, Dudi mengingatkan bahwa proses perubahan SOTK tidak bisa dilakukan secara gegabah.
“Harus ada kajian akademik yang mendalam, termasuk analisis beban kerja, evaluasi program, dan konsultasi publik yang melibatkan DPRD Kabupaten Garut,” tambahnya.
Perubahan Perda harus melalui persetujuan DPRD. Maka, transparansi dan akuntabilitas dalam menyusun naskah akademik sangat penting.
“Jangan sampai hanya mengganti nama, tapi fungsi tetap tumpang tindih,” jelasnya.
Ia juga menekankan penyusunan ulang SOTK harus sejalan dengan prioritas pembangunan daerah, seperti penguatan sektor pertanian, penanganan stunting, reformasi pendidikan, dan digitalisasi layanan publik.
Jika hal ini bisa dilakukan dengan baik, Dudi optimis, birokrasi di Garut akan lebih gesit, terukur, dan mampu menjawab tantangan zaman.
“Struktur yang gemuk hanya menciptakan beban. Tapi struktur yang ramping dan tepat sasaran akan menciptakan perubahan,” pungkasnya. Jang









