BANDUNG, PelitaJabar – CLDS Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia menggelar Bedah Buku Hasil Eksaminasi terhadap Putusan Perkara Tindak Pidana Korupsi Pada Pengadilan Negeri Banjarmasin Nomor 40/Pid.Sus-TPK/2022/PN.BJM. jo Putusan Banding Nomor 03/Pid.Sus-TPK/2023/PT.BJM. jo Putusan Kasasi Nomor 3741 K/Pid.Sus/2023 Atas Nama Terdakwa Mardani H. Maming.
Bedah buku berjudul Mengungkap Kesalahan dan kekhilafan Hakim Dalam Mengadili Perkara Mardani H. Maming”, diterbitkan Oleh CLDS FH UII, bekerjasama dengan (PT. Raja Grafindo) Penerbit buku Rajawali.
Tim Eksamintaor terdiri dari Prof. Dr. Ridwan Khairandy, SH.MH. (Ahli Hukum Perdata/ Hukum Bisnis); Dr. Mudzakkir, S.H., M.H. (Ahli Hukum Pidana); Prof. Hanafi Amrani, SH.MH.LLM. PhD. (Ahli Hukum Pidana); Prof. Dr. Ridwan HR. SH.MH. (Ahli Hukum Administrasi Negara); Dr. Eva Achjani Zulfa, SH.MH. (Ahli Hukum Pidana dan Kriminologi); Dr. Muhammad Arif Setiawan, SH.MH. (Ahli Hukum Pidana), Dr. Nurjihad, SH.MH. (Ahli Hukum Keperdataan);
Dr. Mahrus Ali, SH.MH. (Ahli Hukum Pidana dan Viktimologi); Karina Dwi Nugrahati Putri, SH.LLM. M.Dev.Prac. (Adv). Kandidat doktor. (Ahli Hukum Perdata/ Hukum Perusahaan) Ratna Hartanto, SH.MH. Kandidat doctor (Ahli Hukum Perdata/ Hukum Perusahaan);
Sementara yang menjadi Pembicara/pembedah sekaligus pembuat Legal Opini dan Amicus Curiae: antara lain Prof. Dr. Romli Atmasasmita, S.H.,L.L.M, Prof. Dr. Yos Johan Utama, S.H., M.Hum. Prof. Dr. Topo Santoso, S.H., M.H.
Setelah melakukan kajian hukum atas putusan PN, PT dan Kasasi dalam perkara korupsi atas nama Mardani Maming, serta dilakukannya bedah buku tersebut, terdapat benang merah diantaranya :
Terpidana Mardani Maming (MM) tidak terbukti melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana diuraikan dalam surat dakwaan penuntut umum.
Putusan Majelis Hakim tingkat Pertama, Banding dan Kasasi dibangun dengan konstruksi hukum berdasarkan asumsi dan imajinasi saja karena tidak mempertimbangkan fakta-fakta hukum serta tidak berbasis evidence/bukti yang tersampaikan dimuka persidangan.
Dakwaan/tuntutan terhadap terdakwa tampak terlalu dipaksakan karena fakta yang terungkap dalam persidangan tidak dilandasi bukti yang cukup bahwa terdakwa Mardani H Maming secara nyata penerimaan-penerimaan uang yang disangkakan kepada Terpidana ternyata adalah tagihan-tagihan perusahaan yang didsari atas perjanjian kerjasama sebagaimana putusan pengadilan Niaga yang telah inkrach.
Dakwaan yang dibangun adalah Pasal Suap, namun si pemberi suap tidak pernah diperiksa baik tingkat penyidikan sampai persidangan.
Karena tidak dapat dibuktikan meeting of mind (kesepakataan pembicaraan) antara pemberi suap Alm Hendry Setio kepada dan Terpidana Mardani H. Maming yang disangkakan kepada Terpidana maka kemudian Penuntut Umum menyatakan adanya “Kesepakatan diam-diam yang secara hukum tidak dikenal dalam ilmu hukum pidana.
Pasal 93 UU Pertambangan adresat larangan untuk mengalihkan itu adalah untuk pemilik IUP OP bukan pada Pejabat, SK pelimpahan IUP OP yang di tanda tangani oleh Terpidana sebagai Bupati Tanah Bumbu adalah sesuai kewenangannya dan IUP OP tersebut sudah terlisesnsi Clear and Clean dengan kata lain IUP OP itu tidak memiliki masalah hukum dan sudah memenuhi syarat administrasi.
Dapat dikemukakan, penuntut menghadapi kesulitan secara teknis hukum pembuktian bahwa telah terjadi pemberian hadiah kepada terdakwa karena terdakwa telah melakukan atau tidak melakukan perbuatan yang bertentangan dengan kewajibannya (menurut UU Pemerintahan Daerah dan UU Pertambangan).
Terdakwa dalam jabatan Bupati, atas delegasi wewenang dari Menteri Dalam Negeri berdasarkan UU Pemerintahan Daerah, diberikan kewenangan mengeluarkan izin dalam hal permohonan IUP-dan tentu izin diberikan disebabkan adanya permohonan dari pemohon dan juga telah dilaporkan kepada Menteri dalam urusan pertambangan; suatu kewajiban yang lazim dilakukan dalam sistem birokrasi.
Sekalipun quod non telah terbukti terdapat pelanggaran atas UU sebagaimana diuraikan dalam surat dakwaan, akan tetapi keduabelas peraturan perUUan tersebut, adalah termasuk rumpun hukum Pidana Administrative sehingga tidak tepat secara hukum penerapan UU Tipikor terhadap pelanggaran administrative karena bertentangan dengan ketentuan Pasal 14 UU Tipikor.
Poin 7 di atas diperkuat dengan Penafsiran ketentuan Pasal 14 UU Tipikor, baik penafsiran Historis, sistematis-logis maupun penafsiran telelologis, ketentuan Pasal 14 UU Tipikor, bertujuan membatasi penafsiran hukum yang sangat luas di dalam penerapan ketentuan Pasal 2 dan Pasal 3 UU TIpikor.
Putusan Kasasi dalam perkara tipikor atas nama Mardani H. Maming secara kasat mata telah mengandung kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata dan telah memenuhi alasan PK yaitu adanya keadaan baru yang diketahui akan tetapi tidak pernah disampaikan dalam pertimbangan putusan PN, PT, dan Kasasi sehingga putusan Kasasi seharusnya menyatakan terdakwa dibebaskan atau dilepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut tidak dapat diterima atau setidak-tidaknya hukuman terdakwa dikurangi. ***