Provinsi Jawa Barat mengalami pencapaian investasi cukup tinggi.
Pada semester 1/2021 misalnya, investasi Jabar tumbuh 11,2 persen dengan pencapaian sekitar Rp72,46 triliun.
Pencapaian tersebut tidak terlepas dari tiga hal yakni kesiapan infrastruktur, SDM yang produktif, dan kemudahan pelayan perizinan. Bahkan, ke depan Jabar bertekad menjadi pusat investasi se-ASEAN.
Terkait ini, Jabar meluncurkan empat program dalam menciptakan ekosistem investasi yaitu West Java Invesment Hub (WJIH), Kampanye Nomor Induk Berusaha (NIB), lalu Peluncuran Cinematography of Investment Festival (Cifest), dan Sosialisasi dan Regulasi Kemudahan Berusaha. (Bisnis.com, 19/8)
Tentu semua kita, berharap kondisi keterpurukan ekonomi saat ini ditambah pandemi akan segera terlampaui.
Begitupun, harapan besar terhadap berbagai program investasi yang digalakkan dapat mengantarkan kepada kesejahteraan masyarakat, termasuk kepada kaum perempuan.
Sebagaimana dilansir Data Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI), pekerja migran Jabar menjadi peringkat ketiga tertinggi nasional yakni 6.281 orang.
Sedangkan berdasarkan jenis kelamin, pekerja migran perempuan jauh lebih besar dibandingkan laki-laki sepanjang semester I-2021.
Jumlah pekerja migran perempuan tercatat sebesar 26.539 orang, sementara laki-laki hanya 3.795 orang. (databoks.katadata.co.id)
Namun, jika paradigma yang digunakan adalah kapitalisme, tampaknya kesejahteraan yang diidamkan akan jauh dari harapan.
Hal ini akibat sistem kapitalisme menjadikan untung rugi sebagai pertimbangan.
Investasi tidak lain untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya. Namun para investor besarlah yang diuntungkan.
Sementara masyarakat, kebanyakan hanya meraih remah-remah kekayaan yang jauh dari kata sejahtera. Hal ini berefek kepada perempuan yang juga harus turut berjuang untuk keluar dari jurang kemiskinan.
Bahkan sebagian terpaksa ‘hijrah’ ke negeri orang demi menghidupi keluarga. Jika sudah begini, imbasnya kepada anak dan generasi.
Dalam sistem kapitalisme, investasi dan ekspor, sebagai unsur yang diperhatikan dalam pertumbuhan ekonomi.
Ukuran kesejahteraan dalam kapitalisme dihitung berdasar nilai rata-rata. Sehingga, meski ekonomi mengalami pertumbuhan, bukan berarti menunjukkan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Sistem kapitalisme menjadikan perempuan sebagai mesin penghasil uang. Bahkan pahlawan devisa, melekat pada perempuan. Seolah positif, namun menyimpan luka, utamanya bagi keluarga, perempuan, dan generasi.
Demikian pula, kapitalisme, menjadikan ukuran wanita berdaya manakala dapat menghasilkan pundi-pundi materi.
Sementara pemilik kebijakan, justru mengeluarkan berbagai aturan yang memuluskan langkah bagi para investor.
Kaum perempuan, diberi bekal regulasi dan program agar mampu bersaing dan bertahan hidup.
Kapitalisme juga tidak memperhatikan halal haram sebagai standar kehidupan.
Praktek pinjam meminjam yang mengandung riba, dilakukan dengan alasan memberi banyak manfaat dan keuntungan.
Jika demikian, kesejahteraan masyarakat yang diidamkan tidak akan dapat tercapai, bahkan jauh panggang dari api. Yang ada adalah keuntungan bagi segelintir orang para pemilik modal
Yang ada adalah keuntungan bagi segelintir orang para pemilik modal besar.
Islam memuliakan wanita dengan menempatkannya sebagaimana laki-laki dari segi kemanusiaannya. Perempuan memiliki hak dan kewajiban sama dengan laki-laki.
Khusus perempuan, Islam memberikan peran utama dan istimewa kepada yaitu ummun wa robbatul bait (ibu dan pengatur rumah tangga).
Kondisi bangsa saat ini dimana dekadensi moral, kemerosotan akhlak hingga ketertinggalan di berbagai bidang, menuntut perbaikan generasi sejak dari awalnya yaitu rumah. Sehingga peran ini menjadi sangat strategis bagi perempuan.
Meski Islam menetapkan peran utama perempuan sebagai ibu rumah tangga, bukan berarti terlarang untuk melaksanakan aktifitas publik.
Islam memberikan kewajiban kepada perempuan di area publik sebagaimana laki-laki semisal berdakwah.
Bekerja dan menjadi anggota majelis ummat adalah perkara yang mubah (boleh dilakukan) oleh perempuan, selama tidak berbenturan dengan peran domestiknya.
Islam sebagai agama kaffah (paripurna) menetapkan laki-laki sebagai wali bagi perempuan.
Penanggung nafkah adalah wali perempuan, yaitu yang pertama adalah ayah selama perempuan belum menikah.
Setelah menikah berpindah kepada suaminya. Nafkah mencakup kebutuhan pokok sandang, pangan, dan papan yang harus dipenuhi secara ma’ruf (mencukupi).
Sebagaimana firmanNya:
“Kewajiban ayah untuk memberi makan dan pakaian kepada para ibu secara layak. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya.” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 233).
Dan firman Allah SWT dalam Q.S. At-Talaq ayat 6:
“Tempatkanlah mereka (para istri) di tempat kalian tinggal menurut kemampuan kalian.”
Jka perempuan tidak memiliki wali yang dapat menanggung nafkahnya, maka tanggung jawab beralih kepada Negara. Hal ini sebagaimana sabda Nabi SAW :
” Siapa (yang mati) dan meninggalkan utang atau tanggungan, hendaklah ia mendatangi aku karena aku adalah penanggung jawabnya.” (HR al-Bukhari)
Islam menjadikan peran pemimpin masyarakat adalah sebagai pelayan masyarakat, sebagaimana hadits Nabi SAW:
“Imam (pemimpin) adalah pelayan masyarakat, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas pengurusannya. ”
Mekanisme pemenuhan nafkah seperti ini mungkin terpenuhi dalam Islam, karena terkait dengan sistem ekonomi Islam yang berbasis Baitul Mal.
Pemasukan Baitul Mal bersumber dari pos pengelolaan sumber daya alam vital semisal hutan, minyak bumi, nikel, batubara, sumber mata air yang banyak, dan semisalnya.
Selain itu, sumber pemasukan Baitul Mal juga berasal dari kharaj (pungutan terhadap tanah produktif), serta zakat yang hanya dialokasikan untuk 8 asnaf atau golongan.
Sebagaimana disebutkan dalam Q.S At-Taubah ayat 60.
Dengan mekanisme ini, kas Negara akan besar sehingga mampu mengantarkan kepada kemandirian keuangan tanpa tergantung kepada investasi swasta apalagi asing.
Jika perempuan terkatagori fakir miskin, akan mendapatkan tambahan santunan dari pos zakat.
Demikianlah, Islam memberikan ekosistem yang ramah perempuan, sehingga tidak perlu terpaksa bekerja.
Mereka dapat bahagia menjalankan peran strategisnya, menyiapkan generasi penerus bangsa yang gemilang.***