BANDUNG, PelitaJabar – Berdasarkan data dilapangan, baik dari toko buku, supllier dan karyawan percetakan yang menjual buku langsung ke sekolah, pembelian buku kurtilas belum merata dalam pelaksanaanya untuk melengkapi proses belajar mengajar di sekolah pada tahun ajaran 2018/2019.
Hal ini disebabkan karena kurang lancarnya penggandaan dan pencetakan dengan berbagai macam alasan, sehingga sekolah melengkapi pengadaan buku pelajaran dari penerbit swasta dengan harga yang jauh lebih mahal melalui dana BOS.
Pengamat pendidikan yang juga pengurus PWI Jabar Muhammad Syafrin Zaini mengungkapkan, adanya ketentuan di Juknis BOS boleh membeli Bukpel BSE sebagai alternatif, cukup membingungkan. Karena stock lama eks buku bse sejak 2010 sudah habis terjual. Selain itu, juga jarang mencetak lagi karena harganya hampir sama dengan HET kurtilas.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
“Banyak sekolah meminta uang dari penjual buku ke sekolah tanpa memperhatikan kualitas buku. Ini kan jelas menyimpang dari UU perbukuan pasal 64 ayat 1 yang melarang penerbit tidak boleh menjual buku langsung kesekolah. Dampaknya korupsi semakin masif terutama di akar rumput atau sekolah pelaksana,” ungkap Syafrin saat ditemui di Bandung Rabu (1/8).
Dia melanjutkan, dari pelaksanaan pembelian buku melalui Online Store, beberapa perusahaan yang pernah dilegitimasi oleh Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP) dan Kemendikbud melalui harga sesuai e-katalog sepertinya masih lebih baik walau ada sedikit kekurangan dibandingkan dengan penjualan buku Kurtilas non online.
“Sulit mendapatkan data dari sekolah pembeli penerima dan pembayar secara tepat pesan, tepat sasaran, tepat kirim dan tepat bayar sesuai dana yang diberikan langsung kesekolah melalui dana BOS yang dilakukan secara Non Cash Less oleh pihak sekolah. Nah ini pertanyaannya kenapa bisa terjadi,” tambah Syafrin lagi.
Dirinya juga menyinggung kenaikan harga kertas pada 2018 ini yang mencapai 30 persen dari 2017 lalu. Selain itu, kurang merata pengadaan kertas khusus yang ditetapkan Kemendikbud.
“Ini tentunya menyulitkan percetakan dan suppliyer sehingga berdampak pada pengadaan buku Kurtilas tahun ajaran 2018/2019, kurang dapat terlaksana tepat waktusesuai kebuituhan sekolah. Tidak aneh, banyak percetakan menggunakan kertas seadanya dengan pemikiran asal ada buku walau kertasnya down speck,” tegas Syafrin seraya mengingatkan pengusaha jangan hanya mencetak buku untuk kebutuhan zona 4 dan 5 karena harganya dianggap lebih menguntungkan sehingga, banyak buku kurtilas kebutuhan zona 1,2 dan 3 agak terlambar suplay bukunya.
Pihaknya menghimbau kepada Menteri Pendidikan agar harga eceran tertinggi (HET) tetap dikendalikan oleh Kemendikbud dan LKPP. Disamping itu, pelaksanaan pengadaan dan pengiriman, bisa melalui lelang resmi ditingkat pusat atau daerah agar lebih terjamin pengontrolan oleh Kemendikbud.
Dirinya juga meminta perusahaan peserta lelang harus sudah terlegitimasi oleh pihak LKPP dan Kemendikbud, harus ada cek fisik.
“Saya kira Kemendikbud bisa memberlakukan standar lulusan buku dan harga per halaman secara merata untuk buku penerbit swasta dengan HET perbukuan atau e-katalog. Ini penting supaya masyarakat tidak menjadi korban dari penerbit swasta yang menjual buku seenaknya karena kompromi dengan swasta,” pungkasnya. Mal