JAKARTA, PelitaJabar – Dinilai diskriminasi dan berat sebelah, program Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) penyaluran bantuan melalui program Diseminasi Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPCPEN), mendapat penolakan dari para pengusaha media siber di berbagai daerah.
Mereka yang tergabung dalam Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) menolak penyaluran KPCPEN yang disebut “berkah Presiden Jokowi”, karena dinilai tidak adil, dan merendahkan martabat media siber.
“Kami yakin, kebijakan Presiden terhadap kerjasama dengan media di program KPCPEN, tidak mungkin diskriminatif, sehingga ada kesenjangan seperti bumi dan langit. Jika sampai media rame-rame nenolak berkah presiden yang disodorkan Kementerian Kominfo, berarti ada yang salah dalam menjaga kepercayaan publik kepada pemerintahan Bapak Jokowi,” jelas Direktur Radar Mandalika dan Radarmandalika.id HM Syukur dari Nusa Tenggara Barat (NTB), Senin (26/7/2021).
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Senada, Penanggung Jawab Papuatimes, Hans juga mengecam cara-cara diskriminasi yang dipraktikkan dalam pelaksanaan program KCPPEN.
“Kami sudah terbiasa dengan diskriminasi oleh pemerintah pusat, tetapi kami di Papua tidak pernah bayangkan, hal ini terjadi terhadap media. Kementerian Kominfo seharusnya membangun citra positif negeri ini,” tambahnya.
Dia menolak kerjasama KPCPEN dari Kementerian Kominfo karena menurutnya hal itu bukan membangun ekonomi nasional, lebih terkesan pelecehan terhadap media.
Sementara Ketua SMSI Sulawesi Selatan, Rasid mengatakan, Diseminasi KPCPEN merupakan kebijakan yang meminta semua kementerian agar mengalihkan anggaran belanja iklan mereka, terutama iklan layanan masyarakat, kepada media-media lokal.
“Hanya saja, pelaksanaan di lapangan serasa mencederai rasa keadilan dan bahkan terkesan menindas media-media daerah anggota kami. Nilai kontrak yang diberikan mulai 6 juta, 5 juta, 4 juta bahkan ada yang 3 juta rupiah/kontrak,” kata Rasid.
Menurutnya, dengan frekuaensi konten 12-25 kali pemuatan/kontrak, didapat nilai sebesar lebih kurang Rp100 ribu/konten. Padahal dengan alokasi anggaran yang luar biasa besar, seharusnya media-media daerah bisa memperoleh kompensasi antara Rp. 1 juta hingga Rp. 1,5 juta/artikel konten.
“Ibarat langit dan bumi jika kita bandingkan dengan nilai yang diperoleh media-media lain di Jakarta. Bahkan harga sekantong Bansos (bantuan sosial) untuk fakir miskin pun bernilai lebih besar dari yang diperoleh media-media daerah anggota kami,” sebutnya.
Senada dengan pimpinan perusahaan media siber lainnya, Direktur Saibumi.com Donny Irawan salah satu media di Lampung menolak berkah Jokowi ini dan mempertanyakan penanganan KPCPEN di Kementerian Kominfo ini.
“Saya enggak ngerti, Kementerian Kominfo merupakan etalase komunikasi Republik Indonesia. Jika pola komunikasi yang dibangun Kementerian Kominfo seperti ini, sepertinya ada yang enggak beres” ujar Donny.
Ketua SMSI Jawa Barat Andhy menyayangkan kebijakan Kementerian Kominfo tersebut.
“Ini keterlaluan. Saya sayangkan hal ini terjadi, semestinya bijaksanalah. Muncul pertanyaan kami di daerah, jika masyarakat persnya saja dibuat begini, bagaimana masyarakat yang buta huruf dan buta informasi?” tegas Andhy.
Pihaknya juga mempertanyakan konsep Presiden yang tidak komprehensif atau pelaksana KPCPEN oleh Menteri Kominfo yang tidak cakap atau memang orang-orang di kominfo yang bermasalah?
“Bayangkan, anggaran Rp 1,6 miliar sangat kecil diperuntukkan bagi enam puluh anggota SMSI di daerah dan dibagi dengan nilai tiga juta rupiah sampai dengan Rp 12 juta per media. Dan, tiga juta rupiah itu untuk 20 kali tayang artikel dan 5 kali naik banner. Sisanya kemana? Ini Agencynya yang salah hitung, atau cash backnya yang terlalu besar?” tanya CEO AyoBandung.com ini lagi.
Pengamat Kebijakan Publik dan Reformasi Birokrasi, Medrial Alamsyah menilai Indonesia bisa mengalami krisis kemanusiaan, jika pemerintah dalam hal KPCPEN serius mengatasi dua krisis yang sedang berlangsung, yaitu krisis kesehatan dan krisis ekonomi.
“Adanya protes media daerah dalam kegiatan diseminasi bukan saja menunjukkan tidak ada sense of crisis di tingkat pelaksana tim KPCPEN, tetapi juga lebih dari itu, terindikasi masih adanya pelaksana yang melakukan kejahatan rutin birokrasi seperti korupsi dan manipulasi,” ujar Medrial Alamsyah.
Selanjutnya Medrial juga mengatakan seharusnya tim KPCPEN mengerjakan semua aspek dan detail dari pekerjaan dengan serius, punya strategi yang jelas dan terukur.
Menanggapi reaksi para pengusaha pers siber dari berbagai daerah mengenai pelaksanaan KPCPEN di Kementerian Kominfo, Sekretaris Jenderal SMSI Pusat M Nasir mengatakan, pihak Kementerian Kominfo sebaiknya menelusuri di mana letak ketidak-adilan itu terjadi.
“Ketua Umum SMSI Firdaus sudah minta konfirmasi kepada Sekretaris Jenderal Kementerian Kominfo, namun hingga kini belum ada jawaban,” pungkasnya. ***