TATA KELOLA dunia yang kapitalistik, menyebabkan munculnya gangguan kesehatan mental massif.
Organisasi kesehatan dunia (WHO) tahun 2022 merilis, data penduduk dunia yang mengalami gangguan kesehatan mental masih dikisaran 1 miliar.
Di Indonesia, tak jauh beda. Dinas Kesehatan tahun 2021 membeberkan, penduduk Indonesia memiliki potensi gangguan kesehatan mental 20 persen dari populasi. Atau satu dari lima penduduk Indonesia berpotensi mengalami gangguan kesehatan mental.
Berbagai persoalan sistemik muncul. Mulai dari persoalan ekonomi, keluarga, tidak harmonisnya hubungan antara individu masyarakat, tidak terselesaikan dengan baik oleh sistem yang ada.
Kesehatan mental yang paling parah tercermin dari keinginan orang untuk melakukan bunuh diri karena tak sanggup mengatasi tekanan masalah.
Angka bunuh diri di Indonesia tahun 2021 sekitar 1.800 orang. Mirisnya pelaku bunuh diri itu mereka yang terkategori usia produktif yaitu usia 10 hingga 39 tahun. Angka ini masih tergolong kecil jika dibanding dengan Jepang atau Korea.
Semua problem di atas muncul dari aturan main yang diterapkan negara. Negara menteorikan masyarakat ideal adalah masyarakat yang mandiri, tidak tergantung pada bantuan negara, tidak ada keinginan untuk mendapat subsidi. Dengan kata lain negara berlepas tangan terhadap apa yang dibutuhkan rakyat. Rakyat dibiarkan bebas bersaing memenuhi kebutuhan hidupnya. Inilah tata kelola kapitalistik.
Kebebasan kepemilikan misalnya, faktanya telah memunculkan banyak masalah. Menunjuk satu contoh, kebijakan negara membiarkan jutaan hektar kelapa sawit dikuasai oleh beberapa gelintir orang berdampak sangat serius terhadap munculnya banyak masalah.
Penguasaan lahan sawit oleh beberapa gelintir orang dalam jumlah besar menyebabkan produksi petani sawit tidak terserap oleh pasar karena kebutuhan pasar sudah terpenuhi oleh mereka. Akibatnya produksi sawit dari petani tidak laku di pasaran. Tentu ini akan memunculkan stres di kalangan petani yang berpengaruh pada kesehatan mentalnya.
Setelah diolah menjadi minyak goreng otomatis pasaran minyak goreng juga dikuasai oleh mereka, sehingga memunculkan drama memilukan sebagaimana yang terjadi beberapa waktu lalu yang menimbulkan kepanikan luar biasa.
Itu baru satu kebijakan. Kebijakan lain seperti kebijakan pendidikan, kebijakan kesehatan, penyediaan lapangan kerja dan lainnya juga tak kalah buruknya. Hal itu membuat masyarakat sulit mengakses kebutuhan-kebutuhan tersebut hingga tak jarang berpengaruh pada kesehatan mentalnya.
Solusi
Intinya teori berlepas tangannya negara dalam memenuhi kebutuhan rakyat inilah akar masalah munculnya gangguan kesehatan mental massif.
Ini mengingatkan kita bahwa semua aturan kehidupan yang tidak berlandaskan pada aturan Illahi pasti akan memunculkan masalah. Padahal Allah SWT telah menurunkan aturan lengkap dalam semua aspek kehidupan.
Dalam Islam, jaminan pemenuhan kebutuhan pokok individual seperti pangan, sandang, papan serta kebutuhan pokok kolektif seperti pendidikan, kesehatan serta keamanan dijamin oleh negara.
Islam juga mengatur kepemilikan, sehingga apa yang menjadi hak rakyat yang menyangkut kepemilikan umum, sepenuhnya dikelola oleh negara untuk dikembalikan lagi kepada rakyat dalam bentuk layanan publik.
Inilah yang membedakan secara tegas antara sistem Islam dan sistem kapitalisme. Dalam Islam negara memiliki peran sentral dalam memenuhi kebutuhan rakyat, sementara kapitalisme menihilkan peran negara.
Praktek pemberlakuan sistem Islam ini telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW dan dilanjutkan oleh para khalifah.
Gangguan kesehatan mental bisa ditekan sedemikian rupa. Jika pun ada dapat diselesaikan dengan sistem yang ada sehingga tidak mengganggu kehidupan mereka dan tidak membawa dampak buruk di tengah masyarakat.
Jika Islam telah terbukti menyelesaikan masalah, masihkah mempertahankan sistem gagal yang timbulkan banyak masalah?
Bagi yang berakal sehat pasti akan mencampakkan sistem kapitalisme dan beralih ke sistem Islam, sistem yang diridhai Allah SWT.
Wallahu a’lam bi showab
foto : pijarpsikologi.org