BANDUNG, PelitaJabar – Salah satu permasalahan yang menjadi fokus negara saat ini adalah tingginya
prevalensi stunting anak balita. Stunting terjadi karena adanya kekurangan gizi kronis oleh bayi ketika masih dalam kandungan dan atau setelah lahir hingga 1000 hari pertama kehidupannya.
Merujuk data Survei Status Gizi Indonesia (SSGI), Jabar berhasil menurunkan angka prevalensi stunting sebesar 10,9 persen, dari angka 31,1 persen di tahun 2018 ke angka 20,2 pada 2022, dengan rata-rata penurunan 2,72 persen per tahun.
Berbagai upaya telah dilakukan guna penurunan angka stunting, termasuk program BKKBN Provinsi Jawa Barat.
Salah satu studi kasus yang menggambarkan bagaimana praktik baik intervensi perrcepatan penurunan Stunting di 4 Kabupaten dengan presentase angka stunting cukup tinggi menurut SSGI tahun 2022, yaitu Kabupaten Cianjur, Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Garut dan Kabupaten Bandung Barat.
Namun yang paling penting saat ini adalah bagaimana mengubah mainset masyarakat untuk bisa hidup sehat, karena hal ini erat kaitannya dengan stunting.
“Di salah satu program tv, yang diomongngin adalah bagaimana mengubah mainset penduduk yang kepala desa itu di Kalimantan Timur untuk berubah dari buang air besar dipinggir kali ke jamban yang ada dirumahnya. Jadi memang ada banyak hal kalau kita ingin memikirkan generasi kita kedepan yang akan menjadi generasi emas, dan itu perlu kolaborasi semua pihak,” beber Bonivasius Prasetya Ichtiarto, Deputi Pengendalian Penduduk BKKBN saat membuka Diseminasi Studi Kasus dan Pembelajaran Baik Stunting di Provinsi Jawa Barat, di Hotel Grand Cokro Bandung Selasa 12 Desember 2023.
Selain itu, persoalan data juga sangat penting. Bukan tidak mungkin ada pihak-pihak yang ingin mendiskreditkan bangsa kita.
Dia mengaku menggeluti urusan data hampir 25 tahun.
“Pernah saya baca sebuah buku, ada yang namanya how to lie with starship. Angka data ditangan orang statistik itu bisa dibuat apa saja, mau bikin jelek, bagus buruk bisa.
“Jadi kalau ada orang yang menyampaikan sekarang data-data yang menulis IQ kita rendah, human capital index kita juga rendah, kalau saya melihat itu, disatu sisi ambil sebagai penyemangat kita. Namun kadang itu politik juga, harus kita waspadai,” ujar Bonivasius lagi.
Dalam kegiatan tersebut, juga dihadirkan dua narasumber, Prof. Dr. Ir. Ali Khomsan, MS, dari Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, IPB University dan Widya Astuti, S,Gz., MSi, sebagai dosen UPI.
Menurut Ali Khomsan, beberapa uraian praktik baik program penurunan stunting di Jawa-Barat seperti Kabupaten Cianjur, mengalami penurunan stunting dari 33,7 persen (SSGI 2021) menjadi 13,6 persen (SSGI 2022).
Sementara di Kota Sukabumi relatif stabil yaitu 19,1 persen (SSGI 2021) menjadi 19,2 persen (SSGI 2022).
“Namun di Kabupaten Sumedang mengalami peningkatan dari 22,0 persen, menjadi 27,6 persen. Sama halnya dengan Kota Bogor, dari 16,9 persen menjadi 18.7 persen. Pemda Kota Bogor kemudian menginisiasi program penurunan stunting berupa pemberian intervensi telur kepada balita stunting selama 6 bulan,” bebernya.
Sementara Widya Astuti mengungkapkan, meningkatknya prevelensi stunting di Kabupaten Garut, menimbulkan pertanyaan besar pada kinerja Tim PKK.
Jika ditelusuri, terdapat data dari tiga desa mengindikasikan pengukuran yang tidak akurat dan tidak rutin.
Jadi terdapat desa di Kabupaten Garut dan Kabupaten Bandung Barat yang terindinkasi tidak memperbaharui data hasil pengukuran dan hanya mengubah usia dari sasaran tanpa mengubah berat badan dan tinggi badan sasaran.
“Contohnya Desa Ciwangi, persentase balita stunting pada Februari 2022 sebesar 6 persen kemudian melonjak pesat pada Agustus 2023 menjadi 76 persen,” ujarnya.
Karena itu pihaknya merekomendasikan kolaborasi seluruh aspek dalam percepatan penurunan stunting sangat diperlukan.
“Selain itu kami merekomendasikan juga stakholder harus menghindari ego sektoral, peningkatan sarana pendukung kinerja Tim PKK, perbaikan sistem aplikasi Elsimil dan perbaikan insentif terhadap Tim PKK,” pungkasnya. ***