KASUS korupsi seolah tiada akhir di negeri ini. Pemberitaan media ramai dan bergantian. Koruptor pun kian beragam.
Sebagaimana kasus yang menjerat Empat pegawai Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Perwakilan Jawa Barat yang ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), akhirnya langsung dinonaktifkan dari BPK.
Ketua BPK Isma Yatun mengatakan empat pegawai itu langsung dinonaktifkan begitu ditetapkan sebagai tersangka.
‘Kami sudah menonaktifkan kepala perwakilan BPK provinsi Jabar,’ ucap Isma di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Kamis (28/4/2022).
Korupsi di negeri ini telah menjadi penyakit akut. Seperti kanker yang mengakar. Upaya mencabut hingga ke akar tampaknya tak kuat. Sebab, budaya dan pelaku korupsi tak sendiri. Mereka berjamaah dan saling melindungi untuk mencari cara selamat. Korupsi telah melembaga. Adapun lembaga pemberantas korupsi tampaknya diamputasi. UU KPK direvisi dan mendapat penolakan dari berbagai kalangan.
AKAR MASALAH
Lord Acton (1833-1902) pernah menyatakan Power tends to corrupt. Absolute power corrupts absolutely, (Kekuasaan itu cenderung korup. Kekuasaan absolut korup seratus persen).
Korupsi pada dalil Acton tersebut bukan hanya terkait uang, melainkan juga politik atau kebijakan. Lebih parah lagi jika korupsi kekuasaan itu dibalut oleh slogan, ‘ini negara demokrasi’. Seolah demokrasi menjadikan korupsi absah.
Sistem politik pilihan Indonesia memberikan konsekuensi logis. Siapapun yang ingin duduk di kursi kekuasaan, maka jalan mulusnya dengan asas keuangan.
Partai politik yang menjadi kendaraan tak serta-merta memberikan tiket gratis. Ada harga yang harus dibayar untuk bisa berlabuh di kekuasaan.
Take and given ini memang tak semata materi. Bisa juga janji-janji dan kepentingan lainnya untuk menempatkan orang-orang pilihan. Hal lumrah dan jamak diketahui publik terkait tukar guling jabatan demi hasrat kekuasaan.
Jika uang dijadikan segala-galanya untuk naik kekuasaan, tak ayal ini mengonfirmasi bahwa sistem politik demokrasi begitu korup. Hasilnya, tumbuh subur praktik korupsi dengan ragam caranya.
Penyelewengan kekuasaan membuka ruang untuk suap, terutama kaitannya dengan pengurusan anggaran, pengesahan dan pembahasan anggaran. Praktik korupsi dan suap tak hanya terjadi dalam legislatif, tetapi juga menyasar eksekutif dan yudikatif.
Tak ayal, uang yang telah dikeluarkan itulah yang nantinya harus dikembalikan selama menjabat. Korupsi menjadi ‘sumbu pendek’ untuk mengeruk pendapatan. Karena itu selama demokrasi diterapkan di negeri ini, korupsi akan disemai subur. Sebab akarnya tidak tercabut.
Institusi lembaga negara juga telah dikuasai segelintir elit politik. Jejaringnya membentuk oligarki yang menjadikan korupsi terlindungi. Kalaupun tertangkap basah, pelakunya yang dikorbankan. Itu pun kasusnya sering ditutupi dan tidak menyentuh otak di balik korupsi.
Sikap elit yang rakus didasari karena menjabat bukan lagi amanah, namun sebagai jalan untuk mengeruk kekuasaan dan memperkaya diri. Alhasil, uang yang seharusnya digunakan untuk kepentingan rakyat, rela diembat.
Semua bisa berdampak pada kemelaratan rakyat. Rakyat, yang seharusnya berhak untuk diurusi kehidupannya, terabaikan.
Kerakusan kian menjadi tatkala muncul kepentingan oligarki terkait ekonomi, kemudian difasilitasi elit yang mengorbankan kaum alit. Perjumpaan elit rakus dan oligarki politik menjadikan korupsi bercokol dari bawah ke atas.
Sistem politik demokrasi telah memberikan celah bertindak korupsi. Tak malu lagi korupsi dilakukan berjamaah dan saling membantu menutupi masalahnya.
Pernyataan Lord Acton bisa jadi benar, jika itu disematkan pada sistem demokrasi. Hal ini tentu berbeda dengan Islam.
SOLUSI ISLAM
Dalam Islam, kepemimpinan dan kekuasaan adalah amanah. Tanggung jawab itu tak hanya di hadapan manusia di dunia, tetapi juga di hadapan Allah di akhirat kelak. Karena itu sistem Islam yang disandarkan pada akidah memberikan solusi yang tak hanya muncul ketika ada masalah.
Sistem Islam mencegah sedari dini manusia untuk memiliki ‘niat korupsi’ di awal. Pada titik inilah, Islam memberikan solusi secara sistemis dan ideologis terkait pemberantasan korupsi. Ini menunjukkan keagungan dan keistimewaan Islam sebagai aturan dan solusi kehidupan.
Lantas, bagaimana langkah Islam dalam memberantas korupsi dan mencegahnya?
Pertama, Islam tidak sekadar mengatur ritual, tetapi juga mengatur kehidupan. Khususnya dalam pemilihan penguasa dan pejabat negara. Pemimpin negara diangkat berdasarkan ridha dan pilihan rakyat untuk menjalankan pemerintah sesuai dengan al-Quran dan as-Sunnah. Begitu pun pejabat yang diangkat untuk melaksanakan syariah Islam.
Pengangkatan kepala daerah dan pemilihan anggota majelis umat memiliki sifat berkualitas, amanah dan tidak berbiaya tinggi. Ini untuk menekan korupsi, suap, dan lainnya.
Sekalipun demikian, tetap ada perangkat hukum yang disiapkan untuk mengatasi kecurangan yang dilakukan pejabat atau pegawai negara. Selain itu, terdapat larangan keras menerima harta ghulul, yaitu harta yang diperoleh dengan cara tidak syar’i, baik diperoleh dari harta milik negara atau milik masyarakat.
Pemerintahan Islam akan membentuk Badan Pemeriksa Keuangan. Syaikh Abdul Qadim Zallum dalam kitab Al-Amwal fi Dawlah Khilafah menyebutkan, untuk mengetahui apakah pejabat dalam instansi pemerintahan itu melakukan kecurangan atau tidak, maka ada pengawasan yang ketat dari Badan Pemeriksa Keuangan
Kedua, dalam pengangkatan pejabat atau pegawai negara, Khilafah menetapkan syarat takwa sebagai ketentuan, selain syarat profesionalitas. Karena itu, ketakwaan menjadi kontrol awal sebagai penangkal berbuat maksiat dan tercela. Ditambah lagi keimanan yang kokoh akan menjadikan seorang pejabat dalam melaksanakan tugasnya selalu merasa diawasi oleh Allah SWT. (Lihat QS al-Fajr [89]: 14; QS al-Hadid [57]: 4).
Ketika takwa dibalut dengan zuhud, yakni memandang rendah dunia dan qana’ah dengan pemberian Allah, maka pejabat atau pegawai negara betul-betul amanah. Bukan dunia tujuannya, tetapi ridha Allah dan pahala menjadi standarnya. Mereka paham betul bahwa menjadi pemimpin, pejabat atau pegawai negara hanya sarana untuk ‘izzul Islam wal muslimin. Bukan demi kepentingan materi atau memperkaya diri dan kelompoknya.
Ketiga, politik ri’ayah bertujuan untuk mengurusi rakyat dengan sepenuh hati dan jiwa. Bukan tunduk pada kepentingan oligarki, pemilik modal, atau elit rakus. Karena itu untuk menjamin loyalitas dan totalitas dalam mengurusi umat, pemerintahan Islam memberikan gaji yang layak untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Gaji cukup untuk memenuhi kebutuhan primer, sekunder bahkan tersier.
Di dalam pemerintahan Islam biaya hidup juga murah karena politik ekonomi negara adalah menjamin pemenuhan kebutuhan seluruh rakyat. Kebutuhan kolektif akan digratiskan oleh Pemerintah seperti pendidikan, keamanan, kesehatan, jalan dan birokrasi. Adapun kebutuhan pokok yaitu sandang, pangan dan papan bisa diperoleh dengan harga yang murah.
Perekonomian dalam pemerintahan Islam akan digerakkan dengan berbasiskan sektor riil yang akan memberikan lapangan kerja yang luas bagi rakyat (Abdurrahman al-Maliki, Politik Ekonomi Islam).
Sistem moneter yang diterapkan berbasis emas yang terbukti anti inflasi. Karena itu harga-harga stabil dan rakyat tetap bisa menjangkau barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhannya (Abdul Qadim Zallum, Sistem Keuangan dalam Daulah Khilafah).
Calon pejabat atau pegawai negara akan dihitung harta kekayaannya sebelum menjabat. Selanjutnya, saat menjabat pun dihitung dan dicatat harta kekayaan dan penambahannya. Jika ada penambahan yang meragukan maka diverifikasi apakah penambahannya itu syar’i atau tidak. Jika terbukti korupsi maka harta akan disita dan dimasukkan kas negara. Pelakunya diproses hukum.
Keempat, sanksi tegas dalam Islam memberikan efek jera dan juga pencegah kasus serupa muncul berulang.
Karena itu hukuman keras bisa dalam bentuk publikasi, stigmatisasi, peringatan, penyitaan harta, pengasingan, cambuk hingga hukuman mati.
Khalifah Umar pernah menyita kekayaan Abu Sufyan dan membagi dua, setelah Abu Sufyan berkunjung ke anaknya Muawiyah, yang saat itu menjadi gubernur Syam (Abdul Qadim Zallum, Sistem Keuangan Khilafah, hlm.123).
Alhasil, siapapun dengan hati ikhlas dan akal yang waras merindukan pemberantasan korupsi tak pandang bulu. Tak ada lagi cerita koruptor itu malah bangga dan bebas mencalonkan dirinya kembali sebagai pejabat negara. Ini menjadi catatan kelam sistem demokrasi yang diterapkan di negeri yang mayoritas muslim ini.
Karena itu, perubahan menuju ke arah dan solusi Islam dalam memberantas korupsi, harus segera dilaksanakan. Upaya inil membutuhkan kesungguhan dan komitmen untuk mewujudkan sistem pemerintahan Islam yang akan menerapkan Islam secara kaffah.
Wallahu a’lam bishshawab