PEMERINTAH melakukan program Vaksinasi yang dipercaya dapat menurunkan angka penderita COVID-19. Program yang berjalan sejak awal Juli 2021 lalu ini, dilakukan secara massal dan gratis bagi seluruh rakyat Indonesia.
Berdasarkan rekomendasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan para ahli, setiap individu membutuhkan dua dosis vaksin Covid-19. Rentang dari kedua dosis tersebut disesuaikan dengan vaksin yang digunakan.
Mengapa? Karena untuk mengoptimalkan antibodi yang terbentuk di dalam tubuh. Jika sudah divaksin, maka individu tersebut akan mendapatkan sertifikat vaksin. Dimana sertifikat ini seperti kartu sakti, karena menjadi syarat bagi masyarakat untuk dapat mengakses layanan publik, perjalanan antar kota hingga pusat perbelanjaan.
Tak hanya itu, ternyata di beberapa daerah pun menjadikan sertifikat vaksin sebagai syarat untuk masuk ke objek wisata. Ini terjadi di daerah Kuningan Jawa Barat. Beberapa wisata diizinkan beroperasi kembali setelah hampir satu bulan ditutup. Syaratnya pengunjung dibatasi 25% dari jumlah keseluruhan, serta menunjukkan sertifikat vaksin.
Ini sejalan dengan usulan Ketua DPRD Kuningan Nuzul Rachdy SE, agar mengupayakan setiap pengunjung sudah divaksinasi. Setidaknya memberikan rasa aman bagi pengunjung lainnya (Radarkuningan.com, 14/08/2021).
Itulah kegunaan sertifikat vaksin. Banyak masyarakat yang akhirnya mencetak menjadi kartu vaksin agar memudahkan dibawa kemana-mana. Namun, cukupkah hanya dengan vaksin untuk melindungi seluruh rakyat dari paparan virus Covid-19? Jangan sampai ada dalih sudah divaksin, banyak masyarakat yang keluar rumah, tanpa memperhatikan protokol kesehatan dengan baik. Sehingga, kasus Covid-19 pun tetap meningkat.
Pro Kontra Kartu Vaksin
Hingga saat ini pemerintah terus berupaya meningkatkan laju vaksinasi berada di angka 1 juta – 1,25 juta setiap harinya. Sehingga tidak menutup kemungkinan adanya keterlambatan dalam pelaksanannya, terutama penyuntikan dosis kedua. Sebab, ketersediaan vaksin yang menipis.
Terhitung per tanggal 02 Agustus, pemerintah telah mendistribusikan 86.253.981 dosis vaksin dan 67.884.947 dosis telah digunakan di 34 provinsi (Kemenkes.go.id, 02/08/2021).
Tentu kebijakan ini menuai pro dan kontra. Bagi para pengusaha dan pemilik usaha ini bisa menjadi
angin segar untuk memutar kembali roda perekonomian.
Seperti yang disampaikan Marketing Communication TSM Bandung, Putri Partiwi. Pihaknya menyambut baik. Karena sejak diberlakukan PPKM pada 3 Juli lalu, pendapatannya menurun drastis.
Berbeda dengan individu yang memiliki komorbid (penyakit bawaan) tentu belum menerima vaksin. Ini yang akan menjadi penghalang bagi mereka untuk mendapatkan fasilitas layanan publik.
Menurut Epidemiolog yang juga Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), Hermawan Saputra, menyatakan ketidaksetujuan dengan kebijakan pemerintah tersebut. Menurutnya ini menimbulkan ketidakadilan sosial di masyarakat.
Alasannya ada dua kondisi, pertama karena komorbid. Kedua, karena stok vaksin tidak tersedia (BBC.com, 11/08/2021). Kendati demikian, pemerintah mengklaim, kebijakan ini telah disetujui banyak pihak.
Solusi bagi komorbid tetap dapat beraktivitas dengan melampirkan surat keterangan dokter. Atau dengan memperlihatkan surat tes antigen dengan jangka waktu 1×24 jam atau PCR 2×24 jam.
Faktanya akan sulit diterapkan. Karena diduga akan banyak perselisihan di tengah masyarakat. Terutama bagi mereka yang mengharuskan keluar kota setiap pekannya. Sehingga baiknya pemerintah kembali memikirkan keputusannya tersebut.
Menurut tim advokasi dari LaporCovid-19, Agus Sarwono meminta pemerintah jangan menggembar- gemborkan kartu vaksin sebagai syarat untuk mengakses layanan publik. Tetapi memastikan stok vaksin tersedia dan terdistribusi hingga ke berbagai pelosok agar seluruh masyarakat benar- benar 100% telah divaksin.
Akar Permasalahan dan Solusi dalam Islam
Program vaksinasi tidaklah salah sepenuhnya. Usaha pemerintah dalam menekan angka laju Covid- 19 perlu diapresiasi. Hanya saja tetap harus memperhatikan protokol kesehatan ketika keluar rumah. Bukan dengan memperlihatkan kartu vaksin saja. Karena kemungkinan besar virus masih menyebar.
Menurut ahli biologi molekuler Ahmad Rusjdan Utomo, terkait efikasi vaksin bahwa vaksinasi dalam rantai pengendalian wabah merupakan tahap terakhir.
Ibarat rumah bocor, maka harus menyediakan ember untuk menampungnya agar air tidak ke mana-mana. Nah, vaksinasi adalah embernya. Artinya, solusi menurunkan angka Covid-19 hanya dengan vaksinasi tanpa disertai solusi fundamentalnya, tentu tidak akan menyelesaikan permasalahan. Solusi hulunya adalah kebijakan pemerintah yang konsisten, tidak berubah-ubah yang berakibat menyengsarakan rakyat.
Harus ada kebijakan makro pemerintah yang benar-benar pro rakyat dan konsisten, serta merujuk pada para
pakar. Sayangnya, kebijakan selama ini diambil tak memberikan lampu merah bagi virus untuk berhenti menularkan pada manusia.
Seringnya gonta-ganti peraturan malah membuat virus berkeliaran. Korban pun banyak berjatuhan, terutama para tenaga kesehatan dan rakyat miskin. Inilah kelemahan pemerintah yang tidak tegas dalam menyikapi pandemi. Pemerintah lebih mementingkan roda ekonomi tetap berputar dari pada kesehatan dan jiwa rakyat. Maka tak heran masih ada pro dan kontra.
Sejatinya keberadaan negara tanpa rakyat tidaklah sempurna. Maka perlulah kerjasama yang baik untuk mengakhiri pandemi. Negara wajib menyediakan pelayanan kesehatan yang memadai bagi seluruh rakyat.
Bagi sekelompok orang yang komorbid, negara wajib memberikan pelayanan pemeriksaan gratis agar tetap diberikan vaksin sesuai rekomendasi dokter ahli.
Terakhir, pemerintah harus berani mengambil sikap. Seperti yang dicontohkan dalam Islam, mengatasi pandemi itu dengan karantina wilayah. Maka masalah akan cepat teratasi dan tuntas.
Karena hakikatnya negeri ini mayoritas penduduknya muslim, menjadi kewajiban seorang muslim untuk taat pada agamanya, baik rakyat maupun penguasanya, sehingga pandemi pun akan berakhir dan rakyat kembali sejahtera.
Wallahualam bishshawab.