BANDUNG, PelitaJabar – Penolakan terhadap UU Cipta Kerja terus bergulir. Bahkan di Kota Bandung sendiri, sejumlah elemen mahasiswa akan terus berdemonstasi sampai tuntutan pencabutan undang-undang soal buruh, dipenuhi.
Ahli Hukum UGM, Zainal Arifin Mochtar mengatakan, RUU Cipta Kerja dibuat dengan proses formil yang bermasalah. Selain itu substansi materiilnya juga begitu banyak catatan.
“Proses formilnya itu dibuat tanpa partisipasi publik, tanpa aspirasi, aspirasi itu ditutup hanya pihak tertentu yang didengarkan. ini mirip orang bikin skripsi tinggal cari data saja,” ucap Zainal seperti dilansir Gelora.co Selasa (6/10/2020).
Selain itu, cacat formil ini bisa diperpanjang lagi. Ia menyebut saat paripurna itu draf UU Cipta Kerja tidak dibagikan pada anggota yang hadir.
“Saat paripurna itu hanya cek kosong aja. Beberapa anggota DPR kemarin tidak dapat drafnya. Tiadanya risalah rapat dan tidak dibagikannya draf, kontrol akan sulit,” katanya.
Tidak hanya itu, kekhawatiran mengenai UU Cipta Kerja ini belum usai. UU ini juga rawan disusupi pasal-pasal pesanan saat dilakukan sinkronisasi.
“Ini seperti di UU Pemilu, itu terjadi ada penambahan pasal di situ,” lanjutnya.
Karena itu, tekanan publik diperlukan. Mengingat banyak masyarakat yang berpotensi kesulitan dengan produk ini apalagi paradigma hukumnya yang terlalu sentralistik.
“Saya menawarkan kita semua harus teriakkan bersama penolakan terhadap undang-undang ini. Pembangkangan sipil atau apalah itu bentuknya itu bisa dipikirkan, tapi maksud saya ini cara kita melihat baik-baik UU ini jangan dibiarkan begitu saja. Kalau tekanan publik kuat itu merupakan bagian dari partisipasi sipil,” jelasnya.
Menurutnya dengan tekanan publik yang kuat, presiden mau menimbang, paling tidak ia bisa memberikan pernyataan politik.
“Langkah lain juga harus dilakukan, tentu judicial review. pungkasnya. ***